UU No 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi sejarah baru dalam industri jasa
keuangan dan pasar modal. Undang-undang tersebut menyatakan dengan tegas
bahwa lembaga OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di jasa keuangan
di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, jasa pensiun, lembaga
pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya. Dengan demikian, kewenangan yang
selama ini melekat di Bank Indonesia dan Bapepam LK dalam pengaturan dan
pengawasan secara bertahap akan melebur ke dalam wadah otoritas tunggal
tanpa harus menanggalkan keunikan peran yang melekat pada masing-masing
unsur pembentuknya. Dibutuhkan keberanian dalam menghadapi perubahan
sistem tersebut.
OJK telah memunculkan pluralisme politik
organisasi. Pluralisme ini akan menghambat percepatan proses integrasi
dan mengendurkan spirit awal pembentukannya jika kepentingan kelompok
dan ego sektoral masih mendominasi. Di sini perlu pengawalan publik
dalam proses transisi tersebut agar tidak terjadi tarik menarik
kepentingan.
Tantangan Dewan Komisioner adalah proses konsolidasi
untuk menyamakan persepsi mengenai peran, fungsi, dan ritme kerja
lembaga OJK. Harapannya, terbentuk budaya organisasional yang baru dan
bisa selaras dengan spirit pengawasan seperti yang dimaksud oleh
Undang-undang. Kita tahu bahwa spirit pengawasan yang berasal dari
perbankan umumnya menekankan pada aspek kehati-hatian (prudent),
sedangkan di pasar modal lebih menekankan pada aspek transparasi,
keterbukaan dan perlindungan terhadap investor.
Implementasi
spirit keterbukaan yang dikemas dalam format kehati-hatian dalam situasi
yang berubah membutuhkan upaya kombinasi antara aspek penjiwaan dan
ketepatan dalam pengambilan keputusan organisasional. Penerapan prinsip
keterbukaan dan transparasi ini justru menjadi prinsip kehati-hatian
yang sebenarnya.
Para anggota komisioner OJK adalah para pengambil
keputusan yang memiliki kualitas dan kompetensi yang memadai. Para
pengambil keputusan yang mendapat amanat untuk mengelola OJK diharapkan
mampu menyeimbangkan antara kemanfaatan dari setiap peluang yang muncul
dan risiko organisasional yang mungkin akan muncul sebagai konsekuensi
atas perubahan lingkungan. Mereka harus mampu mengelola aspek
mental-emosional pada dirinya untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu
stabilitas industri jasa keuangan dan stabilitas ekonomi di negeri ini.
Jakarta, 18 Juli 2012
Oleh: Afrianto Budi Purnomo
(Disarikan dari Majalah Investasi, Juli 2012)
(Disarikan dari Majalah Investasi, Juli 2012)