PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PEKERJA
YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN
KESALAHAN BERAT
Oleh :
Asri
Wijayanti, S.H.,MH.*)
ABSTRAK
Sejak
adanya krisis moneter dan ketidakstabilan politik nasional Indonesia,
pekerja sangat memerlukan perlindungan hukum, mengingat Indonesia
adalah negara hukum. Dampak krisis moneter diantaranya adalah adanya
penutupan perusahaan, adanya pemutusan hubungan kerja secara besar-
besaran atau adanya efisiensi tenaga kerja. Salah satu bentuk
perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja adalah kepastian
hukum tentang adanya hak-hak normatif bagi pekerja yang diputus
hubungan kerjanya karena pekerja melakukan kesalahan berat.
Pekerja
yang melakukan kesalahan berat dapat langsung di putus hubungan
kerjanya apabila ia tertangkap tangan, pengakuan serta ada
bukti lain yang cukup bahwa ia telah melakukan kesalahan berat.
Pekerja
yang mengalami PHK karena melakukan kesalahan berat berhak
mendapat uang penggantian hak 1 x ketentuan serta uang pisah.
Apabila hak itu tidak diperoleh maka dapat dilakukan upaya hukum
secara administrasi atau secara perdata, selama pengadilan hubungan
industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 belum terbentuk.
Kata
kunci : perlindungan hukum, pekerja, PHK, kesalahan
berat.
I
Pendahuluan
Setiap
manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat
dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja
kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara
yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang
lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau pekerja.
Pengertian
pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.. Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh
adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan
upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6). Sedangkan tenaga kerja berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan /
atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Jumlah
tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah
lapangan kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak
dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari
sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan
rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah
unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
Dalam
rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui
industrialisaasi, membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal
sebagai pelopor dan basis pendukung bagi keberhasilan pembangunan
nasional, sebaliknya menempatkan pekerja pada posisi pemancing sektor
penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih rendah
daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan
pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan
nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas
yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 :
46)
Keadaan
ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang-
wenang kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek.
Buruh dianggap sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan
pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang
kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang
tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang menjadikan
perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
Majikan
dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja
secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya
majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum
propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu.
Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih
sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari
satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah
pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih
bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang
sejenis.
Secara
sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang
tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja
pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan
syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat
kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan
hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu
menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi.
Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan
hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang
memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan
perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi)
terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja
terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila
peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang
mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak
karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja,
tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993,
hal.5)
Bruggink
membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual,
keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/
efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum;
keberlakuan normatif yaitu kaidah cocok dalam sistim hukum herarkis,
keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima,
secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.(
JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).
Dari
uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk
perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh
majikan karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak
mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
II
Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan
dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU
No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Selanjutnya,
berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan
ketenagkerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini
dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas
adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi
dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah,
pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama
yang saling mendukung.
Tujuan
pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13
Tahun 2003 adalah :
- memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
- Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
- memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
- meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
Pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu
untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga
kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini
diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal
dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai
kemanusiaannya.
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi
seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
Penekanan
pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja
adalah pelaku pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada
kemampuan, dan kualitas pekerja. Apabila kemampuan pekerja
(tenaga kerja) tinggi maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat
mengakibatkan kesejahteraan meningkat. Tenaga kerja menduduki
posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas nasional dan
kesejahteraan masyarakat, (Machsoen Ali, 1999 :162 ).
- Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
Sebelum
membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus
hubungan kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
hubungan kerja yaitu ”Hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan
kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan
majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh,
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa
pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan
kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam
hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian
pekerja/buruh berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 yaitu ”Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara
pengusaha, pemberi kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemberi kerja yaitu ”Orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pengertian
pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003
adalah:
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
perusahaan adalah:
- Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
- Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan
antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja
diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas
dan kesejahteraan pekerja. Untuk itu, para pengusaha
dalam menghadapi para pekerja hendaknya :
- Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
- Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna); dan
- Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
Agar
kedua belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik,
tanpa adanya tindakan sewenang-wenang dari salah satu pihak maka
diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah dalam bentuk
peraturan-perundang-undangan.
Adanya
peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik
pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus
terkendali atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala
ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam
melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas dan
wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud.
(Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
Selama
pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif
pengusaha atau atas inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1
angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan
kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13 Tahun
2003,
Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang
terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha
lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan
hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil
bagi si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya. PHK harus diupayakan untuk dicegah.
Pengusaha
dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan
berdasarkan pasal 153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
- Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
- Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh menikah;
- Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.
Apabila
PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh
majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan
mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti
kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan
pendapatan.
Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan
pendapatan (income security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.
Kiranya perlu diciptakan peraturan yang memuaskan mengenai tata cara
pemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pihak
pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan penyelesaian yang layak
dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. (Djumialdi,
1987, hal. 88)
Berdasarkan
ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK
terhadap pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Pekerja melakukan kesalahan ringan;
- Pekerja melakukan kesalahan berat;
- Perusahaan tutup karena pailit;
- Force majeur;
- Adanya efisiensi;
- Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
- Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
- Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).
Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia
yaitu :
- Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
- Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya persediaan bahan dasar.
- Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
- Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
- Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
- Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)
Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
- Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
- Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
- Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
- Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)
Alasan
PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam
arti ada hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK
oleh majikan. (Asri Wijayanti, 2002, hal.8)
Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain :
a… Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya atau.
- Jika alasannya PHK itu dicari-cari atau alasannya palsu.
- Jika akibat pemberhentian itu adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
- Jika buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
Apabila
alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat
dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang
tidak beralasan yaitu :
- Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
- Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
Pada
garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat
golongan yaitu :
- Pemutusan hubungan kerja karena hukum
Jika hubungan kerja yang diadakan untuk waktu
tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir, maka
pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal
demikian berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
- Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan
melalui yang berwenang di Pengadilan atas permintaan yang
bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan penting.
- Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal
ini sesuai dengan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
yaitu :pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
- menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
- membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
- tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
- tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
- memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
- memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
- Pemutusan hubungan kerja karena kehendak majikan
- Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK
Apabila
PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari
terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan
atau uang penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa
kerja serta uang penggantian hak.
Ketentuan
uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun
2003 yaitu :
- Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan
uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat
(4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
IV.
Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan
kesalahan berat
Berdasarkan
ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
- melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sebelas
kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No.
13 Tahun 2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict
(perbuatan melanggar hukum) kejahatan,
yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van
starfrecht.
Diputuskannya
pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada
prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003,
yaitu :
- pekerja / buruh tertangkap tangan;
- ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
- bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Tiga
syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
harus bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah
kesemua syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya salah satu syarat dari ketiga
syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa pekerja telah
melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima.
Syarat
pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap
tangan maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan
adanya bukti awal bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang
telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada
bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja telah melakukan
kesalahan berat.
Syarat
yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang
bersangkutan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan
berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari
pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun
bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya
pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk
tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri
(dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di
dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah
melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria
kesalahan berat itu harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak
dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari
pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak boleh
dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat
yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang
dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan
di dukung olh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga
ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat
pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat
sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal
ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang
dapat ditafsirkan hanya menentukan
ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat
kumulatif (garis bawah dari
penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai
syarat alteranatif karena antara pasal 158 ayat (2) b dan pasal
158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau
bukan dan.
Penggunaan
kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat
yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 itu tertulis dan.
Kekhawatiran
akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat
dipahami. Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal
158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu
saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat akan pulang dan menjalani
check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu keluar tempat
kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak
yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama
yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat
kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak.
Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik
perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin
mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A
bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah
mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat
pengakuan bahwa ia telah mencuri.
Kekurang
cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa
hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila
dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun
2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink.
Sebagai
bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam
UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan
tegas menetapkan bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan
kesalahan berat harus dengan izin P4D atau P4P. Hal itu tidak
terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak
mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan
kesalahan berat.
Apabila
pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat
maka pekerja itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian
hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas
dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,
selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat
(4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Ketentuan
uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini
Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang
terdiri dari para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar
satu bulan upah. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan masukan
pada pengusaha untuk segera merumuskan besarnya uang pisah yang dapat
diberikan kepada pekerja bersama dengan serikat pekerja / buruh.
Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu dapat dituangkan
dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh
Kasus
A
bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan satu
juta. Masa kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan.
Akhir bulan lalu A tertangkap tangan telah mencuri barang milik
perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena melakukan
kesalahan berat.
Adapun
hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian
hak yang sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 dan uang pisah berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No.
13 Tahun 2003.
Dari
ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak
menerima uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang
penggantian hak , yaitu penggantian pengobatan dan perumahan sebesar
15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi A mendapatkan hak karena adanya
PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat sebesar Rp. 1.
150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima
(misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja ;
Keseluruhan
hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan
berat yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara
material memang benar.
V
Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan
berat.
Apabila
ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan
pasal 161 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga
penyelesaian perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan
UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan
industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya
perdata.
Upaya
hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui:
upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai
pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu
berhasil mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai
kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan
maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat .
Apabila
anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau
kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini
dapat diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto
Menaker didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas
nasional.
Apabila
diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah
pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan
fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat
dijalankan.
Upaya
hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan
pengusaha dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat
dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah awal untuk menghindari
ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara perdata , pekerja dapat
mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal
1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sejak
adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN.
Tahun 2004, no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang
mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara
bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke pengadilan hubungan
industrial.
Bipartid,
yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai
kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih
penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila
pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai
kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan hubungan
industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan
dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi
dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila
isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat
dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30
hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan
pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarka
ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 yaitu :
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
- Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
- Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
- Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu
tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14
Januari 2004. Jadi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial ini akan menggantiikan kedudukan P4D atau P4P sejak
tanggal 14 Januari 2005.
VI Kesimpulan
Setiap
pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan
beratsesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003,
harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti
tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan
laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan
kesalahan berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan
uang penggantian hak dan uang pisah.
Apabila
hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat
melakukan upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid
atau secara wajib yang didahului lapor ke pegawai perantara untuk
mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto
Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan Negeri.
Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara
lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW.
Apabila
pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2
Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi
upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan
hubungan industrial.
DAFTAR
BACAAN
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi
Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif
Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2
no. 2.
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia, Diktat Kuliah Hukum
Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996,
Refleksi tentang hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian
Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja,
Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987,
Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
Perburuhan Pancasila, PT. Bina Aksara,
Jakarta.
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987,
Sari Hukum Perburuhan Aktual,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi
Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali
Pers, Jakarta.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar
HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum
Perburuhan buidang hubungan kerja,
Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum
Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar
Grafindo, Jakarta.
-------, 1983, Hukum
Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja,
Armico, Bandung.
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience,
1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan,
Armico, Bandung.
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan
hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah
disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan
hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas
Airlangga, 3 November 1994
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran
serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination),
makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September
2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta
Sukarno, 1982, Pembaharuan
Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila,
Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan
Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan
Kerja Antara Majikan dan Buruh,
PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta
Mas, Surabaya.
Sumber: klik
Sumber: klik