Asosiasi
Asuransi Umum Indonesia(AAUI)menilai perlunya pembenahan terhadap
asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ketua Umum AAUI Cornelius
Simanjuntak mengatakan, sejauh ini asuransi yang disediakan bagi TKI
terlalu banyak menjamin risiko yang seharusnya tidak bisa diasuransikan.
Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus melakukan pembenahan
regulasi asuransi TKI agar lebih baik.
“OJK
diharapkan dapat memberikan prioritas kepada asuransi dan melakukan
pembenahan terhadap asuransi TKI,” katanya di Jakarta, Jumat (11/1).
Menurut
Cornelius, dari tiga belas jenis risiko yang diasuransikan, hanya lima
risiko yang layak dijamin oleh perusahaan asuransi yaitu risiko
kematian, sakit, kecelakaan, hilangnya akal budi serta kerugian selama
perjalanan ke daerah. Sedangkan risiko yang tidak dapat dijamin adalah
risiko pelecehan seksual.
Cornelius
mengatakan, TKI akan sulit melakukan klaim asuransi terkait risiko
pelecehan seksual yang dialami. Pasalnya, setiap klaim harus disertakan
bukti atas risiko yang akan dibayarkan oleh pihak asuransi. Untuk itu,
ia berharap asuransi TKI yang tidak bisa dijamin oleh perusahaan
asuransi dapat diambil alih oleh negara melalui lembaga tertentu yang
khusus menjamin risiko TKI seperti OJK.
Di beberapa negara, risiko pelecehan seksual seperti yang dialami TKI dijamin oleh suatu lembaga yang dikenal dengan Overseas Workers Welfrare Administration (OWWA).
Salah satu negara yang memiliki lembaga ini adalah Filipina.
“Pemerintah seharusnya dapat memilih risiko yang bisa dijadikan jaminan
oleh perusahaan asuransi,” ujarnya.
Perbaikan
asuransi TKI ini, sambung Cornelius, tidak hanya menjadi tugas OJK
tetapi melibatkan Bapepam-LK, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
serta beberapa instansi terkait.
Selain
itu, Cornelius menilai aturan yang ditetapkan pada asuransi TKI masih
diselimuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk diketahui,
persoalan asuransi TKI diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.1 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pasal 26 Ayat (4) huruf c menyebutkan
khusus program asuransi selama penempatan.
Program
asuransi selama penempatan yang dimaksud di dalam Permen tersebut
adalah gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI, meninggal dunia,
sakit, kecelakaan yang mengakibatkan cacat, pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara perseorangan maupun secara masal sebelum berakhirnya
perjanjian kerja, menghadapi masalah hukum, upah tidak dibayar, harus
melampirkan perjanjian kerja, Pemulangan TKI bermasalah, harus
melampirkan surat keterangan dari Perwakilan RI di negara penempatan,
Tindak kekerasan fisik, psikis dan/atau seksual, hilangnya akal budi,
harus melampirkan medical report atau visum dari rumah sakit
negara penempatan, serta TKI dipindahkan ke tempat kerja/tempat
lain yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan, harus
melampirkan surat keterangan dari Perwakilan RI di negara penempatan.
Direktur
Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengakui bahwa asuransi TKI
terutama untuk risiko pelecehan seksual memberatkan para TKI, terutama
terkait mekanisme klaim. Menurutnya, mekanisme klaim yang dijadikan
syarat oleh perusahaan asuransi terlalu memberatkan TKI. Selain syarat
yang berat, belum tentu dana klaim tersebut bisa dicairkan.
Beberapa
syarat klaim asuransi yang harus dipenuhi oleh TKI adalah harus
menyertakan bukti visum dari rumah sakit, keterangan dari dokter dan
lain sebagainya. Belum lagi kebanyakan TKI korban pelecehan seksual
mengalami trauma. Untuk itu, hal ini menjadi syarat yang berat menjadi
permasalahan bagi TKI yang mengalami pelecehan seksual.
“Asuransi
TKI kita itu sifatnya komersil, makanya jadi dimanfaatkan oleh
orang-orang yang memiliki kepentingan,” kata Anis saat dihubungi oleh hukumonline.
Anis
berharap OJK dapat mengeluarkan regulasi untuk mengawasi asuransi TKI
sehingga mempermudah TKI untuk memperoleh klaim atas pelecehan seksual.
Selain itu, OJK diharapkan dapat memaksa pihak perusahaan asuransi TKI
untuk lebih transparansi dan akuntabilitas, di mana perusahaan asuransi
harus melaporkan berapa total dana yang tersimpan dan berapa yang
diasuransikan, skemanya seperti apa serta manfaat yang diperoleh.
“Dalam
waktu dekat diharapkan regulasi yang dikeluarkan OJK dapat memperjelas
dan mengawasi “uang siluman” pada perusahaan asuransi TKI saat ini,”
katanya
Terkait
lembaga sejenis OWWA, Anis mengaku telah memberikan usulan ini kepada
pemerintah. Sayangnya, usulan itu tak didengar. Berdasarkan data dari
Migrant Care, TKI yang berhasil mencairkan klaim risiko pelecehan
seksual hanya sebesar 20 persen. Sisanya, pihak asuransi tidak
mengeluarkan hak jaminan asuransi atas pelecehan seksual sama sekali. Ke
depan, OJK diharapkan bisa memberikan kepastian penjaminan TKI di luar
negeri.
Perlu Diaudit
Ketua
Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokati Indonesia (DPP AAI),
Humphrey R Djemat, memastikan bahwa asuransi TKI yang diatur oleh
Menakertrans tidak berjalan seperti yang diharapkan. Sebagai pihak yang
pernah mendampingi para TKI pada saat melakukan klaim, Humphrey
mengatakan, perusahaan asuransi kerap tidak melayani para TKI dengan
baik.
Selain
pelayanan yang buruk, TKI juga dihadapkan pada urusan administrasi dan
formal yang merepotkan. “Tak jarang, para TKI tidak mendapatkan hak
sebagai peserta polis yang terdaftar pada perusahaan asuransi TKI
tersebut,” katanya.
Salah
satu alasan pihak asuransi tidak mau mencairkan klaim kepada TKI yang
tertimpa musibah seperti dijelaskan pada Pemenakertrans No.1 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
adalah kelengkapan surat dari TKI sebagai syarat klaim. Namun, Humphrey
menekankan bahwa seharusnya pihak perusahaan asuransi dapat memahami
situasi TKI yang dipulangkan ke Indonesia.
Dengan
mempermudah TKI mendapatkan klaim, pihak asuransi telah membuktikan
niat baik sebagai perusahaan penjaminan. Sayangnya, perusahaan asuransi
malah berlaku bertolakbelakang dengan hal tersebut. Kondisi TKI yang
dipulangkan tanpa membawa surat-surat dan berkas-berkas dijadikan alat
untuk mempersulit TKI. Padahal, dengan surat keterangan dari KBRI,
seharusnya pihak asuransi bisa mengeluarkan hak TKI.
“Tampaknya, pihak asuransi senang menyulitkan para TKI agar klaim sulit dicairkan,” ujar Humphrey.
Dibalik
mekanisme klaim, administrasi dan urusan formal yang merepotkan, satu
hal yang harus diperhatikan adalah dana asuransi yang tersimpan pada
asuransi TKI. Sejauh ini, dana asuransi TKI sudah terhimpun sebesar
Rp500 miliar tetapi hanya 10 persen yang dialokasikan untuk TKI.
Sisanya, dialokasikan untuk brokers sebesar 50 persen. Menurut Humphrey, idealnya brokers hanya mendapatkan 15 hingga 20 persen.
“Di sini peran OJK. OJK harus berani melakukan audit dana asuransi TKI tersebut,” ujar Humphrey kepada hukumonline.
Lebih
jauh, ia megatakan OJK harus bisa masuk ke dalam sistem Kemenakertrans
selaku pihak yang membentuk konsorsium asuransi TKI. Lembaga iniharus
memperhatikan dan melakukan audit terhadap konsorsium asuransi TKI.
Pasalnya, konsorsium asuransi TKI menjadi wadah untuk mengkorup dana
asuransi TKI. Humphrey meyakini pihak Kemenakertrans terlibat di
dalamnya.
Melalui
audit OJK, lanjutnya, akan terlihat pihak-pihak yang dengan sengaja
memanfaatkan dana asuransi TKI demi kepentingan pribadi. Masukan dari
Satgas TKI yang menyatakan bahwa asuransi TKI tak membawa manfaat tidak
digubris oleh pemerintah. Faktanya, niat baik Presiden untuk memproteksi
TKI dengan melimpahkan asuransi TKI kepada Kemenakertrans malah
dimanfaatkan untuk sekelumit orang melalui konsorsium asuransi TKI.
Padahal, hal tersebut bertujuan agar proteksi TKI sepenuhnya dilakukan
oleh negara dengan pelimpahan kepada Kemenakertrans.
Humphrey
menyarankan agar perusahaan asuransi TKI yang tergabung dalam
konsorsium asuransi TKI tidak dilibatkan untuk memproteksi TKI. Artinya,
konsorsium asuransi TKI dibubarkan agar dana asuransi TKI tak lagi
dikebiri.
Sumber: HukumOnline