Dasar Hukum Asuransi Indonesia

Oleh
Dr. A. JUNAEDY GANIE, SE, MH ANZIIF (Snr. Assoc.), AAIK (HC), CIP, ChFC, CLU


A. PERANAN HUKUM ASURANSI DAN KEBUTUHAN MASYARAKAT

1.      Sejarah hukum asuransi di Indonesia

Sistem hukum Indonesia berasal dari Hukum Perdata yang dibawa oleh pemerintah kerajaan Belanda ke Indonesia pada masa penjajahan. Hukum Perdata tersebut dapat ditelusuri akarnya ke Hukum Perdata  Perancis  sampai ke Hukum Romawi.  Keberadaan hukum asuransi di Indonesia berakar dari Kodifikasi Hukum Perdata (Code Civil) dan Hukum Dagang (Code de Commerce) pada permulaan abad kesembilanbelas semasa pemerintahan kaisar Napoleon di Perancis. Pada waktu itu, Hukum Dagang Belanda hanya memuat pasal-pasal mengenai asuransi laut sampai diundangkannya rancangan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wet Boek van Koophandel) tahun 1838 yang memuat peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi dan asuransi jiwa. Sistem inilah yang juga dianut untuk Hindia Belanda dahulu yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia [1]).

Asuransi selaku gejala hukum di Indonesia, baik dalam pengertian maupun dalam bentuknya yang terlihat sekarang, berasal dari Hukum Barat. Adalah Pemerintah Belanda yang mengimpor asuransi sebagai bentuk hukum (rechtsfiguur) di Indonesia dengan cara mengundangkan Burgerwlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel, dengan satu pengumuman (publicatie) pada 30 April 1847, dan termuat dalam staatsblad 1847 Nomor 23 [2]).  Kedua Kitab Undang-undang tersebut mengatur asuransi sebagai sebuah perjanjian.

Selanjutnya, seiring dengan dominasi Inggris sebagai asal muasal asuransi modern dan negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon tertentu dalam perkembangan industri asuransi secara internasional, terutama dalam penyediaan kapasitas reasuransi dan sebagai sumber pengetahuan asuransi, perkembangan asuransi secara internasional, termasuk di Indonesia, sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh pengertian dan praktik hukum serta preseden yang berasal dari negara-negara Anglo Saxon tersebut.

Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah bisnis untuk pertama kalinya lahir pada tahun 1992 dengan disahkannya UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Sebelum lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1992, asuransi sebagai bisnis diatur melalui berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Kepres) berserta peraturan di bawahnya. Untuk membedakan pengaturan asuransi sebagai sebuah bisnis dari pengaturan asuransi sebagai sebuah perjanjian, selanjutnya, UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian akan disebut UU Bisnis Asuransi.

UU Bisnis Asuransi mengatur asuransi sebagai sebuah bisnis dengan membuat aturan mengenai perizinan, pengelolaaan dan peranan pemeritah dalam pembinaan dan pengawasan usaha perasuransian, Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 UU Bisnis Asuransi, Undang-undang ini menggantikan Ordonnantie op het Levensverzekering bedrijf  (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101) yang dinyatakan tidak berlaku lagi sejak disahkannya undang-undang tersebut. Pelaksanaan UU Bisnis Asuransi diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 (selanjutnya disebut PP Nomor 73 Tahun1992). Sebagaimana  dicantumkan  dalam  Pasal 46 PP Nomor 73 Tahun 1992 tersebut, dengan  ditetapkannya  Peraturan  Pemerintah  ini,  KepPres Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (selanjutnya disebut PP Nomor 63 Tahun 1999) tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 yang menggantikan sebagian ketentuan  PP Nomor 73 Tahun 1992. Perubahan kedua diberlakukan melalui PP Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Masing-masing Peraturan Pemerintah tersebut di atas diikuti berbagai KepMen Keuangan (selanjutnya disebut Kepmen) dan PerMen Keuangan (selanjutnya disebut PerMen) dan berbagai keputusan di bawahnya yang semuanya menjadi peraturan pelaksanaan pengelolaan, pembinaan dan pengawasan bisnis asuransi Indonesia.


2.      Pengertian risiko

Risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil yang diharapkan [3]).  Apabila dilakukan survei atas berbagai buku asuransi di perguruan tinggi saat ini masih terdapat ketidakseragaman tentang pengertian risiko sehingga risiko memiliki sejumlah definisi seperti antara lain sebagai berikut [4]) :

a.   the chance of loss (kesempatan timbulnya kerugian),

b.   the possibility of loss (kemungkinan timbulnya kerugian),

c.   uncertainty (ketidakpastian),

d.   the dispersion of actual from expected result (penyebaran dari hasil yang diperkirakan), or

e.  the probability of any outcome different from the expected one (kemungkinan  suatu hasil akhir berbeda dengan yang diharapkan).

Istilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari dan pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan setiap keadaan dimana terdapat ketidapastian tentang hasil apa yang akan timbul [5]) . Dalam ilmu asuransi terdapat istilah peril dan hazard yang tidak jarang dipergunakan   saling   menggantikan  antara  keduanya  dan  terhadap   pengertian risk (risiko). Ketiga kata tersebut dalam istilah asuransi dapat mempunyai perbedaaan walaupun menurut Kamus Inggris Indonesia [6]) baik peril maupun hazard diterjemahkan "bahaya, risiko". Untuk membedakan di antara kedua istilah tersebut Emmet J. Vaughan dan Therese Vaughan [7]) mendefinisikan peril sebagai suatu penyebab suatu kerugian. Peril juga dipergunakan untuk merujuk kepada bahaya api, topan, banjir, pencurian dan sejenisnya. Keduanya menjadi penyebab kerugian yang mungkin timbul. Hazard pada sisi yang lain merupakan suatu keadaan yang dapat menciptakan atau meningkatkan kemungkinan suatu kerugian timbul dari peril yang ada. Sesuatu hal dapat merupakan peril dan sekaligus hazard juga, misalnya sakit merupakan suatu peril yang menimbulkan kerugian ekonomis tetapi sakit juga merupakan hazard yang menaikkan kemungkinan kerugian dari peril kematian yang lebih cepat. Hazard secara umum dibagi dalam 3  kategori yaitu  Physical hazard, Moral hazard dan Morale hazard.

Physical hazard adalah kondisi fisik obyek asuransi yang akan meningkatkan kemungkinan kerugian karena risiko yang diasuransikan. Contohnya adalah untuk asuransi kebakaran adalah jenis konstruksi, letak dan penggunaan bangunan. Moral hazard adalah kemungkinan terjadinya kerugian disebabkan karakter tertanggung yang cenderung tidak jujur. Morale hazard adalah tindakan yang akan meningkatkan kerugian karena adanya asuransi, misalnya sikap yang cenderung tidak mencegah kerugian timbul karena terdapat asuransi yang menanggung. Pemberian jenis obat yang lebih mahal karena adanya jaminan asuransi merupakan bentuk morale hazard. Jika hakim memberikan putusan yang lebih tinggi karena pertimbangan adanya jaminan asuransi (deep pocket syndrome) merupakan bentuk lain dari morale hazard.   Disamping ketiga kategori di atas, hazard yang ke empat adalah legal hazard yang diartikan sebagai peningkatan risiko dalam frekuensi dan tingkat keparahan kerugian (severity) yang mungkin timbul dari doktrin hukum berlaku [8]). Jenis-jenis risiko masih dapat dibagi dalam berbagai bentuk dan cara lainnya.

 

3.  Pengertian asuransi

Upaya memberikan definisi terhadap kata asuransi dapat mengundang pembahasan yang panjang tetapi pada dasarnya, pengertian asuransi dapat dibagi dalam pengertian asuransi sebagai sebuah perjanjian dan asuransi sebagai sebuah mekanisme pengalihan risiko.

Black's Law Dictionary [9]) mendefinisikan sebagai sebuah perjanjian yaitu bahwa asuransi adalah suatu perjanjian yang menjadi dasar bagi penanggung pada satu pihak berjanji akan melakukan sesuatu yang bernilai bagi tertanggung sebagai pihak yang lain atas terjadinya kejadian tertentu; sebuah perjanjian yang menjadi dasar bagi satu pihak mengambilalih suatu risiko yang dihadapi oleh pihak yang lain atas imbalan pembayaran sejumlah premi.

Menurut Pasal 246 KUH Dagang, asuransi adalah :

"Suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,  kerusakan  atau  kehilangan  keuntungan  yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu"
 
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa perjanjian asuransi merupakan suatu perikatan timbal balik antara penanggung yang memberikan jaminan dan dengan tertanggung yang memberikan imbalan pembayaran premi asuransi. Pengertian tersebut hanya mengatur penggantian kepada tertanggung atas kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Definisi tersebut tidak mencakup jaminan dalam asuransi jiwa yang tidak terkait dengan kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Dalam asuransi jiwa, yang menjadi obyek asuransi adalah jiwa tertanggung atau mereka yang diasuransikan dan manfaat yang diberikan dapat berupa santunan kepada seseorang atau lebih yang ditunjuk sebagai penerima manfaat apabila tertanggung atau yang dipertanggungkan meninggal dunia atau penerimaan manfaat yang disepakati oleh tertanggung yang selamat sampai akhir masa asuransi sehingga jelaslah bahwa definisi tersebut sudah tidak memadai.

Menurut UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU Bisnis Asuransi), pengertian asuransi atau pertanggungan adalah :

"Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang diasuransikan".

Dari ketentuan perundangan tersebut, asuransi adalah suatu perjanjian antara penanggung, yang dengan imbalan pembayaran suatu premi yang telah disepakati, berjanji    untuk   memberikan  suatu  penggantian atau manfaat kepada tertanggung pada satu pihak dan tertanggung atau pihak yang ditunjuk sebagai pihak lainnya.

Menurut UU Bisnis Asuransi, obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya. Cakupan jaminan asuransi dalam definisi ini adalah lebih luas dibandingkan dengan pengertian dalam Pasal 246 KUH Dagang. Meskipun demikian, keberadaan jenis asuransi syariah yang tidak memiliki konsep pengalihan risiko tetapi konsep gotong royong (taawun, mutual protection) [10]) dan produk-produk asuransi unit-linked yang dikeluarkan perusahaan asuransi jiwa membuat definisi umum dalam UU Bisnis Asuransi sudah tidak sepenuhnya tepat lagi.

4.  Asuransi sebagai penerapan prinsip pengalihan dan penyebaran risiko

Fungsi dasar asuransi ialah merupakan suatu upaya untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian khusus untuk kerugian-kerugian murni dan bukan kerugian yang bersifat spekulatif sehingga pengertian risiko dapat diberikan sebagai suatu ketidakpastian tentang terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa [11]) .

Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang bertindak sebagai penanggung risiko yang dalam menjalankan usahanya berhubungan langsung dengan tertanggung atau melalui melalui pialang asuransi. Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang menjadi penanggung ulang yang dalam menjalankan usahanya menerima pertanggungan ulang dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi lainnya.  

Kemampuan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi untuk menanggung  suatu  risiko  yang  dijaminnya  tergantung kepada kekuatan keuangan yang dimilikinya. Penanggung dimungkinkan untuk menjamin risiko yang jauh melebihi jumlah kekuatan permodalan sendiri dan mampu membayar apabila klaim   timbul.   Kemampuan  tersebut  diperoleh  industri  asuransi  melalui  praktik penyebaran risiko karena penanggung dapat memperoleh dukungan kapasitas penerimaan risiko dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi lain. Mekanisme penyebaran risiko tersebut dinamakan reasuransi. Apabila satu risiko ditanggung bersama-sama secara langsung oleh dua atau lebih penanggung dalam satu kontrak asuransi atas objek asuransi yang sama, kegiatan tersebut dikenal sebagai koasuransi.

Asuransi sering dianggap sebagai alat pembagian risiko (risk-sharing device), misalnya premi yang dibayar oleh perusahaan manufaktur untuk jaminan asuransi akan menjadi biaya tetap bagi bisnisnya yang akan diperhitungkan dalam komponen biaya yang dikeluarkan dan oleh karena itu akan tercermin dalam harga yang dikenakan atas barang yang diproduksinya. Biaya klaim lalu di bagi di antara semua pembeli barang yang dijualnya yang memungkinkan suatu risiko dapat disebarkan secara luas. Apabila perusahaan manufaktur tersebut mengalami klaim yang tinggi, premi yang harus ditanggungnya juga menjadi tinggi dan oleh karena itu harga jual produknya juga akan meningkat, tergantung dari kecanggihan sistem pengenaan premi atas masing-masing risiko [12]).

Bagi masyarakat umum, selain menghindarkan risiko, mencegah risiko dan menahan risiko yang dihadapi pada masa kini maupun di masa depan, asuransi  merupakan suatu bentuk penyebaran risiko yang dimiliki walaupun lebih tepat disebut sebagai bentuk pengalihan risiko. Pembeli jasa asuransi dapat juga melakukan  penyebaran  risiko  dengan  mengalihkan  risiko  pada   lebih   dari   satu

penanggung, baik dilakukan dalam bentuk polis-polis asuransi yang terpisah maupun dalam bentuk penutupan asuransi secara koasuransi.

Sebagian dari premi yang dikumpulkan oleh penanggung dari seluruh peserta asuransi dipergunakan untuk membiayai klaim yang timbul dari sebagian tertanggung yang menderita kerugian atau telah jatuh tempo haknya atau hak penerima manfaat (beneficiary)  untuk menerima klaim. Sebagian lagi adalah untuk membentuk cadangan klaim yang mungkin terjadi atau diketahui di masa akan datang, membiayai penyelenggaraan usaha dan untuk keuntungan penanggung. Tertanggung membayar premi yang merupakan biaya tetap terlepas apakah peristiwa yang diasuransikan terjadi atau tidak. Bagi tertanggung, dengan membayar premi asuransi sebagai biaya tetap, mereka akan memperoleh kepastian bahwa kerugian atau kehilangan yang mungkin timbul selama masa asuransi akan dibiayai oleh penanggung terlepas apakah jumlah klaim yang timbul seimbang atau tidak dengan premi yang dibayar tertanggung. Jumlah kerugian yang timbul dapat jauh melampaui jumlah premi yang dibayar tertanggung sehingga akan sangat mempengaruhi kondisi keuangan tertanggung apabila tidak memperoleh penggantian kerugian dari pihak lain. Jumlah klaim yang timbul juga dapat melebihi kemampuan penanggung untuk membiayainya apabila tidak didukung terlebih dahulu oleh program reasuransi untuk memperkuat kemampuan keuangannya.

Dari tujuan dan fungsi asuransi bagi penanggung maupun tujuan tertanggung tersebut, dapat disimpulkan berlakunya penerapan prinsip "the losses of a few are borne by a group" dalam bisnis asuransi. Tidak semua peserta akan mengalami kerugian atau kehilangan pada waktu yang sama ataupun pada waktu yang lain tetapi klaim yang diajukan oleh sebagian dari peserta asuransi ditanggung oleh seluruh peserta asuransi.


5.   Perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap  asuransi

Al Qur'an, surah An Nissa' ayat 9 berbunyi :

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar".

Ayat tersebut menunjukkan kewajiban manusia untuk berikhtiar memberikan kesejahteraan dan masa depan yang baik bagi keluarga mereka. Ikhtiar merupakan suatu praktik tanggung jawab seseorang kepada keluarganya dan oleh karena itu bagi orang banyak.

Al Qur'an, surah Yusuf ayat 43 – 49 meriwayatkan mimpi Raja Mesir yang melihat tujuh ekor sapi betina gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.  Nabi Yusuf A.S. menafsirkan mimpi tersebut berarti bahwa Mesir akan mengalami keberhasilan panen gandum selama tujuh tahun berturut-turut dan disusul oleh masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya. Nabi Yusuf menyarankan supaya rakyat Mesir berhemat, hanya mempergunakan seperlunya saja hasil panen gandum selama musim panen yang berlimpah dan menyimpan sebagian besarnya  untuk mengatasi musim kegagalan panen yang akan datang. Riwayat tersebut menunjukkan suatu bentuk ikhtiar yang dilakukan manusia dengan menabung dan mempersiapkan diri mengatasi ketidakpastian atau kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat timbul. Riwayat yang sama ditemukan pula dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian 41:1-36. Kisah di atas merupakan suatu bentuk tindakan untuk mengatasi ancaman yang akan timbul pada masa sulit atau ketidakpastian di waktu yang akan dating melalui upaya menyisihkan pendapatan pada masa yang baik.

Kekhawatiran terhadap ketidakpastian (uncertainty) menimbulkan kebutuhan terhadap perlindungan asuransi. Ketidakpastian yang mengandung risiko yang dapat menjadi ancaman bagi siapapun melahirkan kebutuhan untuk mengatasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari ketidakpastian tersebut. Risiko yang dihadapi dapat bersumber dari bencana alam, kelalaian, ketidakmampuan ataupun dari sebab-sebab lainnya yang tidak diduga sebelumnya. Meskipun demikian, tidak semua orang membeli asuransi dan tidak semua risiko diasuransikan. Bagi mereka yang membeli, jenis, jumlah dan biaya asuransi yang dibeli merupakan hasil dari pertimbangan atas berbagai faktor terutama sikap pandang terhadap risiko. Ada yang takut dengan risiko sehingga ingin mengasuransikan semuanya tetapi ada juga yang bersikap berani mengambil risiko atau sekedar karena kurang perduli sehingga mengasuransikan risiko yang dimilikinya. Sebagian lagi, tidak menutup asuransi karena tidak menyadari risiko yang dimiliki atau tidak mengetahui apa yang dapat diasuransikan. Sebagian lain lagi tidak mengasuransikan karena menganggap asuransi itu mahal.

Kebutuhan masyarakat terhadap asuransi akan terus  berkembang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya masing-masing. Dewasa ini kebutuhan tersebut, telah berkembang sehingga menjadi termasuk dan tidak terbatas kepada kebutuhan terhadap hal-hal sebagaimana tercantum di bawah ini :

a.  Sebagai proteksi terhadap risiko finansial sebagai akibat timbulnya :  

1)      kerugian, kerusakan dan kehilangan yang menimpa harta benda yang dimiliki atau dikuasai;

2)      tuntutan tanggung jawab hukum atas kesalahan dan/atau kelalaian pribadi atau yang berada di bawah pengawasan atau tanggung jawabnya, atau mereka yang tindakannya terkait dengannya di bawah undang-undang;

3)      pendapatan atau keuntungan yang diharapkan;

4)      piutang yang tidak tertagih; dan

5)      biaya pengobatan atau perawatan kesehatan.

b.      Sebagai kompensasi atas kehilangan anggota badan atau cacat badan atau meninggal dunia.

c.       Sebagai jaminan kelangsungan pendapatan sendiri (termasuk badan usaha) dan keluarga (atau yang menjadi tanggung jawabnya termasuk karyawan),

d.      Sebagai sarana investasi dan tabungan.

e.       Sebagai sarana berbagi risiko dan tolong menolong apabila terjadi musibah.

f.       Sebagai strategi efisiensi pemanfaatan modal sehingga tidak perlu melakukan pencadangan atas risiko kerugian yang mungkin timbul sehingga modal yang dimiliki dapat dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan bisnis.

g.      Pendukung strategi pengambilan kebijakan bisnis atau tindakan pribadi, misalnya atas rencana investasi atau perluasan usaha, pemberian kredit, risiko kegagalan pelaksanaan kontrak dan  kegiatan pribadi yang mengandung risiko tinggi.

h.      Dasar pengaturan anggaran biaya, dan

i.       Pemberi rasa aman mengetahui risiko yang mungkin terjadi akan ditanggung oleh perusahaan asuransi.
 

B. PENGATURAN ASURANSI KOMERSIAL DI INDONESIA

Dalam pelaksanaan pembangunan terdapat berbagai jenis risiko yang perlu ditanggulangi oleh masyarakat. Sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi risiko dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat, usaha perasuransian memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian negara dalam upaya menciptakan kesejahteraan umum yang merupakan tujuan pembentukan negara Indonesia.

Sebagai sebuah lembaga yang menghimpun dana milik masyarakat yang harus menjalankan usahanya dengan berpedoman pada prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab,  usaha  perasuransian  merupakan  suatu  bidang  usaha  yang  harus tunduk kepada  pengaturan yang dilakukan pemerintah.

Berdasarkan kedudukannya, ruang lingkup Hukum Asuransi Indonesia secara keseluruhan, asuransi akan dibagi 3, yaitu pertama, asuransi sebagai sebuah perjanjian yang tunduk kepada pengaturan perjanjian pada umumnya dan menjadi acuan dalam pembuatan setiap perjanjian asuransi yang diatur di bawah KUH Perdata, kedua, asuransi sebagai sebuah perjanjian yang menjadi acuan dalam pembuatan setiap perjanjian asuransi di bawah KUH Dagang. Pengaturan asuransi sebagai sebuah perjanjian merupakan pedoman dan/atau aturan bagaimana sebuah perjanjian asuransi harus dibuat dan ditaati.

Hukum Asuransi pada dasarnya berisikan ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari perjanjian pengalihan dan penerimaan risiko oleh para pihak. Hukum asuransi pada pokoknya merupakan obyek hukum perdata. Dengan demikian, dapat disimpulkan kecuali telah ditentukan lain dalam KUH Dagang sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, sebagai sebuah perjanjian, perjanjian asuransi diatur di bawah KUH Perdata [13]).

Ketiga, asuransi sebagai sebuah bisnis yang akan mengatur prilaku mereka yang menjalankan usaha perasuransian. Pengaturan ini merupakan hukum yang bersifat memaksa tentang persyaratan usaha dan bagaimana sebuah usaha perasuransian harus dikelola.

 
1.      Pengaturan asuransi sebagai sebuah perjanjian di bawah KUH Perdata.

Dalam mengatur asuransi sebagai sebuah perjanjian, KUH Perdata memuat ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang berikut :

a.       Syarat sahnya sebuah perjanjian

1)      Sepakat mereka yang mengikatkan diri

2)      Cakap untuk membuat perikatan

3)      Suatu hal tertentu, yaitu adanya pihak yang berjanji untuk memberi ganti kerugian dan pihak tertanggung yang berkewajiban membayar premi.

4)      Adanya suatu sebab yang sah.

5)      Dalam bentuk yang sah (tidak diatur di bawah KUH Perdata tetapi sudah ada dalam UU Bisnis Asuransi).

b.      Asas hukum sahnya sebuah perjanjian

1)      Asas kebebasan berkontrak

2)      Asas konsensualisme

3)      Asas pacta sunt servanda

4)      Asas itikad baik.

5)      Asas kepribadian

c.       Dasar hukum perjanjian asuransi
Dasar hukum perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

"Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi    semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah : perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang."

Menurut pasal di atas, perjanjian asuransi digolongkan kedalam perjanjian untung-untungan. Penggolongan perjanjian asuransi sebagai perjanjian untung-untungan tidak sesuai dengan sifat perjanjian asuransi yang sesungguhnya.

d.      Subyek perjanjian asuransi
Masalah pokok yang diperjanjikan yaitu janji penanggung untuk memberikan ganti kerugian dan adanya pembayaran premi dari tertanggung.

e.       Lahirnya perjanjian asuransi
Dimulai sejak disepakatinya hasil tawar menawar antara penanggung dan tertanggung dan tanggal pertanggungan dimulai.

f.       Sifat perjanjian asuransi, terdari dari 5 hal yang berikut :

1)      Perjanjian pribadi

2)      Perjanjian sepihak

3)      Perjanjian bersyarat

4)      Perjanjian yang disiapkan sepihak

5)      Pertukaran yang tidak seimbang

g.      Keseimbangan kepentingan penanggung dan tertanggung
Dimaksudkan untuk mempersyaratkan bahwa suatu perjanjian dibuat dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan di antara para pihak. Dalam praktiknya, karena alasan-alasan tertentu, ketentuan ini tidak selamanya terpenuhi.

h.      Sanksi atas wanprestasi dalam pemenuhan kewajiban
Pengaturan mengenai sanksi sangat terbatas dan jika ada masih harus berdasarkan putusan hakim sehingga pelaksanaannya akan melalui proses yang panjang.

i.        Tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga
Merupakan aturan yang melahirkan tanggung jawab terhadap pihak lain atas perbuatan melanggar hukum karena perbuatannya, karena kelalaian dan sebab-sebab lainnya, baik karena perbuatan sendiri maupun perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau akibat barang dan hewan yang dimiliki atau berada di bawah pengawasannya.

j.        Pembatalan perjanjian
Mengatur prosedur pembatalan yang dalam praktiknya pada industri asuransi telah lama ditinggalkan.

k.      Penafsiran perjanjian
Dimaksudkan sebagai pedoman dalam menafsirkan setiap ketentuan apabila para pihak berbeda pendapat.


2.   Pengaturan asuransi sebagai sebuah perjanjian di bawah KUH Dagang.

a.       Penggolongan dan jenis-jenis asuransi

Menurut KUH Dagang, asuransi dapat digolongkan  sebagai berikut :

1)      Asuransi kerugian atau asuransi umum yang terdiri dari asuransi kebakaran dan asuransi asuransi pertanian.

2)      Asuransi jiwa

3)      Asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai.

Penggolongan dan jenis-jenis asuransi modern telah berkembang lebih jauh dari yang diatur dalam KUH Dagang.

b.      Penyebab yang ditanggung dalam perjanjian asuransi (proximate cause).

Pengaturan mengenai keabsahan suatu penyebab yang ditanggung dalam perjanjian asuransi tidak diatur dalam KUH Dagang.

c.       Tujuan dan prinsip-prinsip pokok asuransi

1)      Prinsip kepentingan yang diasuransikan (Insurable interest).

2)      Prinsip itikad baik (Utmost goodfaith)

3)      Prinsip ganti kerugian (Principle of indemnity).

d.      Keseimbangan kepentingan

Sebuah perjanjian memerlukan keseimbangan kedudukan dan kepentingan di antara para pihak.

e.       Hubungan premi dan jumlah pertanggungan dan perhitungan ganti kerugian

Penerapan asas keseimbangan antara besaran risiko yang diasuransikan dan premi yang dibayar. Meskipun demikian, berbagai faktor seperti kemampuan teknis, pengalaman masing-masing perusahaan asuransi dan tekanan pasar, dapat membuat perusahaan satu dengan lainnya memberikan premi yang berbeda untuk risiko yang sama, kecuali dalam hal dikenakan tarif standar. Pembayaran ganti kerugian dipengaruhi oleh jumlah pertanggungan yang diasuransikan :

1)      Indemnity Basis/Reinstatement Value

2)      Overinsurance

3)      Underinsurance

f.       Bukti pengalihan risiko kepada penanggung

Mengatur tentang bukti-bukti adanya penutupan asuransi :

1)      Penawaran dan Penerimaan

2)      Aplikasi/Proposal form

3)      Cover Note

4)      Polis

Pada bagian ini diatur pula tentang jangka waktu penyerahan dokumen asuransi dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh penanggung atau pialang asuransi yang tidak menjalankan tugasnya.

g.      Pengecualian dan pembatasan

Risiko-risiko atau penyebab-penyebab yang dikecualikan atau yang tidak dijamin di dalam polis serta persyaratan-persyaratan yang diatur di dalam polis.

h.      Pembatalan dan berakhirnya perjanjian asuransi

Tidak diatur secara khusus tetapi pada pada praktinya perjanjian asuransi akan berakhir karena :

1)      Masa berlaku asuransi berakhir

2)      Perjalanan yang diasuransikan berakhir

3)      Timbul klaim penuh (Total Loss).

4)      Asuransi dibatalkan.

5)      Asuransi gugur.

i.        Penyelesaian sengketa

KUH Dagang mengatur penyelesaian berdasarkan putusan hakim. Dalam perkembangan dewasa ini persengketaan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri atau berdasarkan putusan Majelis Arbitrase.

j.        Penafsiran perjanjian

Tidak memuat aturan mengenai penafsiran sehingga sepenuhnya mengikuti ketentuan dalam KUH Dagang.

k.      Sanksi

Tidak memuat aturan mengenai sanksi apabila salah satu pihak melanggar ketentuan dalam perjanjian asuransi dan sepenuhnya diserahkan kepada penerapan kebebasan berkontrak kecuali pemberian pilihan untuk meminta melalui hakim pembatalan perjanjian atau pengenaan denda kepada yang tidak memenuhi kewajibannya.

 

3.  Pengaturan asuransi sebagai sebuah bisnis UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (UU Bisnis Asuransi).

a.       Landasan tujuan dan fungsi asuransi

Landasan tujuan dan dan fungsi asuransi adalah bahwa usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi risiko yang dihadapi masyarakat dan sekaligus sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat sehingga memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian dalam memajukan kesejahteraan umum.

b.      Tujuan pengaturan bisnis asuransi oleh pemerintah.

Terdapat 2 pemikiran yang menjadi alas an, yaitu :

1)      Vested-in-the Public Interest Rationale

Tujuan ini berlandaskan bahwa terhadap bisnis yang mengumpulkan dana dari masyarakat diperlukan pengaturan untuk melindungi kepentingan umum.

2)      Destructive-Competition Rationale

Penanggung tidak mengetahui biaya operasi terutama klaim yang sebenarnya sampai akhir periode asuransi. Keadaan ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

c.       Ruang lingkup UU Bisnis Asuransi

1)      Bidang usaha dan jenis usaha

2)      Bentuk badan hukum

3)      Kepemilikan

4)      Permodalan

5)      Perizinan

6)      Pengurus

7)      Pembinaan dan pengawasan :

a)      Bidang kesehatan keuangan

b)      Bidang penyelenggaraan usaha

8)      Kepastian dan penegakan hukum

9)      Perlindungan kepentingan konsumen, larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

10)  Perlindungan kepentingan nasional.

 

Jakarta, 23 Oktober 2009
(Disampaikan dalam rangka Pelatihan Asuransi untuk Guru SMK se-Provinsi DKI Jakarta, tanggal 23 Oktober 2009)

________________________________

[1])  Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Intermasa, 1986, hlm. 15-17.  Lihat juga Man S. Sastrawidjaja & Endang, Op. Cit., hlm. 35 – 36.
[2])    Wirjono Prodjodikoro, Idem., hlm. 11.
[3])  Emmet J. Vaughan dan Therese Vaughan, Fundamentals of Risk and Insurance, John Wiley & Sons, Inc, 9th Edition, 2003, hlm 3.
[4])   Idem, hlm. 2.
[5])  Scott E. Harrington, Gregory R. Niehaus, Risk Management and insurance, McGrawHill, 2nd Edition, 2003, hlm. 1.
[6])  John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cornell University/Gramedia, Edisi XXI, Januari 1995, hlm 425 dan 292.
[7])  Emmet J. Vaughan dan Therese Vaughan, Op.Cit., hlm 5 – 6.
[8])  Ibid.
[9])  Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Group, 7th Edition, 1999, hlm. 270.
[10]) Lihat Muhaimin Iqbal, General Takaful Practice, Technical Approach to Eliminate Gharar (uncertainty), Maisir (gambling), and Riba' (usury), Gema Insani, 2005, Cetakan 1, hlm. 2 : Takaful as a concept that to some extent is similar to conventional mutual risk sharing such as Mutual Insurance and Protection and Indemnity Club (P&I Club). It is a mutual sharing of risk based on the concept of Taawun (Mutual Protection)
[11]) Sri Rejeki Hartono , Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Cetakan ke 2, Mei 1995, hlm 15.
[12])  Robert Bradgate, Commercial Law, Butterworth LexisNexis, 3rd Edition, 2003, hlm. 825 – 826.
[13])  Man S. Saastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Edisi ke 1, Cetakan 1, 1997, hlm. 126.

6 Comments

Terimakasih telah berkunjung. Silakan meninggalkan komentar, bertanya, atau menambahkan materi yang telah saya sediakan.

  1. Saya ingin bertanya apakah sebuah perjanjian asuransi kesehatan (company) secara hukum sudah dinyatakan berjalan/tidak apabila:
    - Polis yang mengatur benefit dan besaran premi sudah ditandatangani 2 pihak
    - Sudah adanya tertanggung yang dicover (rawat inap) oleh perusahaan asuransi tersebut
    - Kartu sudah tercetak
    - Premi belum dibayarkan
    Apabila dalam kondisi tersebut secara tiba-tiba sipihak tertanggung membatalkan perjanjian yang sudah dibuat karena suatu alasan khusus apakah sitertanggung dapat digugat secara pidana dan perdata walaupun sitertanggung bersedia untuk membayar biaya administrasi yang sudah timbul (biaya cetak kartu dan penggantian biaya yang sudah dicover oleh perusahaan asuransi tersebut)? Terima kasih atas bantuannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perjanjian asuransi biasanya sah setelah terjadi kesepakaan antara tertanggung dan penanggung dan efektif saat premi sudah diterima oleh penanggung.
      Adapun masing-masing sah secara hukum untuk membatalkan polis, dengan demikian tidak dapat dituntut ke muka pengadilan.

      Delete
    2. Terima kasih atas pencerahannya

      Delete
    3. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال