INILAH.COM, Jakarta - Pertumbuhan industri asuransi syariah pada 2013 diprediksi mencapai 30-40%. Inilah peluang dan hambatannya. Seperti apa?
Rhesa Yogaswara, Konsultan Senior dari Strategic Business Insight of QASA Consulting mengatakan, begitu banyak prediksi dari berbagai pihak akan asuransi syariah di Indonesia pada 2013. “Namun alangkah baiknya bila kita melihat dari dua sudut pandang,” katanya kepada INILAH.COM.
Dua sudut pandang ini, Rhesa coba membuat analogi yang sederhana yakni ‘dorongan’ dan ‘tarikan’. “Maksud dari mengamati ‘dorongan’ dan ‘tarikan’ ini adalah di mana kita harus melihat faktor-faktor pendorong pertumbuhan di 2013 ini dan juga faktor yang akan menarik permintaan dalam meningkatkan pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia,” ujarnya.
Rhesa menjabarkan dari sisi peluang dan juga hambatan (barrier). Dari sisi regulasi, lanjutdia,ada beberapa hal yang bisa medorong pertumbuhan asuransi syariah di tahun 2013. Pertama,adalah penetapan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) tentang modal perusahaan asuransi minimum sebesar Rp100 Miliar.
“Jika modal perusahaan asuransi tersebut belum mencukupi, pilihannya adalah menambah modal atau mengkonversi menjadi asuransi syariah, karena syarat modal minimum asuransi syariah adalah sebesar Rp50 Miliar,” paparnya.
Kedua, adalah disahkannya Undang-undang tentang asuransi syariah, di mana semua unit usaha syariah yang merupakan bagian dari induk asuransi konvensional harus spin off, untuk beroperasi secara mandiri.
Menurut dia, dengan syarat ringan di mana modal minimum yang tidak terlalu berat, diharapkan perusahaan asuransi syariah bisa berjalan secara mandiri. “Kalau memang ada perusahaan yang masih kurang kuat modalnya, diharuskan untuk melakukan merger dengan perusahaan asuransi syariah lainnya,” tuturnya.
Ketiga, adalah regulasi yang diharapkan akan memberikan “dorongan” terhadap nilai asuransi syariah di Indonesia, melalui produk pertanggungan pihak ketiga, atau dikenal dengan istilah Third Party Liabilities dari produk asuransi umum. “Arahan dari regulasi ini adalah untuk mewajibkan penempatan asuransi untuk Third Party Liabilities, pada produk asuransi syariah,” ucap Rhesa.
Keempat, adalah keinginan dari Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) untuk meningkatkan asuransi syariah dengan cara menarik asuransi untuk underlying aset pada produk sukuk ke asuransi syariah. “Contoh underlying aset dalam sukuk adalah seperti bangunan, tanah dan lain-lain,” ujarnya.
Saat ini, menurut dia, underlying sukuk masih diasuransikan ke asuransi konvensional dan lembaga lain selain syariah. “Jika saja underlying aset sukuk, yang seharusnya diasuransikan ke asuransi syariah, dapat direalisasikan, asuransi syariah diharapkan bisa bertambah,” timpal dia.
Namun, tetap ada hambatan dari sisi regulasi, yaitu adanya syarat minimum untuk jumlah direksi bagi perusahaan asuransi syariah. “Regulasi ini akan sangat memberatkan bagi perusahaan asuransi syariah yang masih belum terlalu besar untuk menggaji direksi sampai 3 orang,” tegas Rhesa.
Lebih jauh, Rhesa menjelaskan perihal ‘tarikan’ pada industri asuransi syariah di Indonesia 2013. “Sebagai gambaran, Prudential Indonesia dengan produk unit link syariahnya memberikan kontribusi terhadap total premi perusahaan sampai 25%,” tandas dia.
Sementara ke depan, produk asuransi syariah akan banyak diserap oleh kelas menengah sampai 2040 mendatang. Seberapa kuatkah ‘tarikan’ kelas menengah ini? Rhesa menjelaskan, menurut riset pasar yang dikeluarkan oleh MARS 2011, bahwa Kelas Sosio-Economic-Status (SES) A masih mendominasi asuransi jiwa di Indonesia.
Artinya, lanjut dia, SES B masih memiliki banyak peluang untuk menyerap produk asuransi syariah. Terlebih, kelas menengah ini jumlah populasi yang besar di Indonesia. Kelas Menengah dengan SES B berkontribusi 23%, sementara kelas menengah SES C berkontribusi 40% dari total jumlah keluarga di Indonesia.
Artinya,kata dia, 60% penduduk Indonesia yang berasal dari kelas menengah ini merupakan target pasar yang cukup besar, dengan perilaku rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk asuransi kesehatan adalah sebesar 7,2% dari pengeluaran Non-Makanan.
Di balik peluang yang masih besar tersebut, masih ada faktor ‘tarikan’ lain dari sisi jalur pemasaran. Yaitu jalur bancassurance yang saat ini cukup mendominasi kontribusi asuransi, yaitu sebesar 40%. “Namun karena aset bank syariah belum cukup besar, pertumbuhan premi asuransi syariah pun menjadi belum optimal dalam menunjang pembiayaan perbankan syariah. Jadi potensi asuransi syariah juga tidak maksimal karena belum banyaknya produk pembiayaan bank syariah untuk diasuransikan ke asuransi syariah,” papar Rhesa.
Di atas semua itu, Rhesa membuat matriks asumsi ‘dorongan’ dan ‘tarikan’ bagi industri asuransi syariah di Indonesia 2013. Dari sisi, ‘dorongan’ regulasi, peluang bagi asuransi syariah adalah Spin Off UUS menjadi Ful Pledged, Modal Minimum yang lebih rendah (Rp50 Miliar), Penempatan TPL di asuransi syariah dan penempatan asuransi underlying aset sukuk di asuransi syariah.
Sementara itu, peluang dari sisi ‘tarikan’ pasar adalah jumlah kelas menengah SES B, C yang sangat besar dan tingkat penetrasi pasar asuransi syariah yang masih rendah di SES B, C.
Di sisi lain, hambatan dari sisi ‘dorongan’ regulasi adalah syarat minimum direksi yang harus berjumlah 3 orang. Sementara itu, hambatan dari sisi ‘tarikan’ market adalah permintaan produk perbankan untuk pembiayaan syariah yang belum maksimal.
Dari gambaran ini, lanjut dia, publik akan dapat lebih mudah melihat bagaimana prediksi asuransi syariah di Indonesia 2013. Sangat memungkinkan pertumbuhan industri asuransi syariah pada 2013 sebesar 30-40%, sesuai perkiraan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI). “Dengan asumsi, regulasi-regulasi di atas diharapkan dapat memberikan ‘dorongan’ karena bisa diimplementasikan dengan baik,” imbuhnya.
Sumber: Inilah