JAKARTA. Perusahaan pialang atau broker asuransi dan reasuransi bisa
sedikit bernafas lega. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunda
pemberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152 tentang Tata Kelola
atau Good Corporate Governance (GCG) bagi pialang yang tidak mampu
memenuhi aturan tersebut. Sementara pialang yang mampu, wajib
menjalankan aturan tersebut.
PMK 152 mewajibkan setiap pialang memiliki direksi dan komisaris minimal dua orang. Aturan ini mulai berlaku April 2013. Jika tidak memenuhi kewajiban itu, broker dilarang beroperasi. Aturan ini menyebabkan banyak broker asuransi terancam gulung tikar.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK, mengingatkan aturan ini tidak akan dibatalkan, tapi diperbaiki agar industri broker asuransi dan reasuransi bisa menerapkan. Saat ini, OJK sedang mengkaji format ideal penerapan aturan ini bagi broker-broker kecil. Untuk sementara, OJK akan membolehkan broker-broker yang belum memenuhi aturan tetap beroperasi. Namun jika sudah menemukan format yang sesuai, maka broker kecil wajib menyesuaikan.
OJK memberi kelonggaran demi nasabah. Jika banyak yang tutup, nasabah dirugikan, sebab masyarakat masih membutuhkan broker asuransi. "Selain pengawasan fungsi kami juga melakukan pembinaan," ujar Firdaus, yaang juga matan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini.
strong>Untuk broker mampu
Kehadiran PMK 152 memang menjadi polemik. Aturan ini bersifat baik, tapi industri belum mampu memenuhinya. Dalam aturan ini regulator menuntut broker asuransi lebih disiplin. Peningkatan GCG akan mendongkrak transparansi, sehingga perusahaan semakin kredibel, karena keputusan diambil lebih dari satu pihak. Selain itu, GCG juga bisa meminimalisir terjadinya penyimpangan (fraud).
Namun, berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi (Apparindo), dari 152 perusahaan pialang asuransi, sebanyak 65% hanya memiliki satu direksi. Bagi broker asuransi, penambahan direksi atau komisaris bukan hal mudah. Mereka harus menanggung biaya baru, berupa penambahan beban gaji. Maklum, gaji seorang direksi dan komisaris selama 12 bulan, belum termasuk tunjangan dan lain-lain bisa Rp 150 juta.
Nilai ini bisa lebih tinggi lagi, sebab stok direksi dan komisaris broker asuransi sangat terbatas, sehingga meningkatkan gaji mereka. Di sisi lain, banyak broker asuransi bermodal cekak. Rata-rata permodalan di bawah Rp 2 miliar. Jika menambah direksi akan menggerus modal, sementara broker asuransi harus menjaga modal. Belum lagi broker asuransi sulit mendapatkan investor baru.
Apparindo sudah mengusulkan agar aturan ini diterapkan pada broker asuransi yang mampu. Lebih adil lagi jika penerapan berdasarkan kinerja perusahaan. Misalnya, aturan untuk para broker yang beromzet Rp 10 miliar ke atas dan ekuitas minimal Rp 5 miliar. Apparindo menilai, perusahaan tersebut mampu memenuhi aturan.
PMK 152 mewajibkan setiap pialang memiliki direksi dan komisaris minimal dua orang. Aturan ini mulai berlaku April 2013. Jika tidak memenuhi kewajiban itu, broker dilarang beroperasi. Aturan ini menyebabkan banyak broker asuransi terancam gulung tikar.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK, mengingatkan aturan ini tidak akan dibatalkan, tapi diperbaiki agar industri broker asuransi dan reasuransi bisa menerapkan. Saat ini, OJK sedang mengkaji format ideal penerapan aturan ini bagi broker-broker kecil. Untuk sementara, OJK akan membolehkan broker-broker yang belum memenuhi aturan tetap beroperasi. Namun jika sudah menemukan format yang sesuai, maka broker kecil wajib menyesuaikan.
OJK memberi kelonggaran demi nasabah. Jika banyak yang tutup, nasabah dirugikan, sebab masyarakat masih membutuhkan broker asuransi. "Selain pengawasan fungsi kami juga melakukan pembinaan," ujar Firdaus, yaang juga matan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini.
strong>Untuk broker mampu
Kehadiran PMK 152 memang menjadi polemik. Aturan ini bersifat baik, tapi industri belum mampu memenuhinya. Dalam aturan ini regulator menuntut broker asuransi lebih disiplin. Peningkatan GCG akan mendongkrak transparansi, sehingga perusahaan semakin kredibel, karena keputusan diambil lebih dari satu pihak. Selain itu, GCG juga bisa meminimalisir terjadinya penyimpangan (fraud).
Namun, berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi dan Reasuransi (Apparindo), dari 152 perusahaan pialang asuransi, sebanyak 65% hanya memiliki satu direksi. Bagi broker asuransi, penambahan direksi atau komisaris bukan hal mudah. Mereka harus menanggung biaya baru, berupa penambahan beban gaji. Maklum, gaji seorang direksi dan komisaris selama 12 bulan, belum termasuk tunjangan dan lain-lain bisa Rp 150 juta.
Nilai ini bisa lebih tinggi lagi, sebab stok direksi dan komisaris broker asuransi sangat terbatas, sehingga meningkatkan gaji mereka. Di sisi lain, banyak broker asuransi bermodal cekak. Rata-rata permodalan di bawah Rp 2 miliar. Jika menambah direksi akan menggerus modal, sementara broker asuransi harus menjaga modal. Belum lagi broker asuransi sulit mendapatkan investor baru.
Apparindo sudah mengusulkan agar aturan ini diterapkan pada broker asuransi yang mampu. Lebih adil lagi jika penerapan berdasarkan kinerja perusahaan. Misalnya, aturan untuk para broker yang beromzet Rp 10 miliar ke atas dan ekuitas minimal Rp 5 miliar. Apparindo menilai, perusahaan tersebut mampu memenuhi aturan.
Sumber: Kontan(.)com
Tags
News