REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetrasi asuransi di Indonesia masih
sangat rendah, yakni 1,1 persen. Angka tersebut tertinggal dari
negara-negara tetangga, yaitu Malaysia dengan penetrasi 3 persen dan
Singapura 4,3 persen. Bahkan di Inggris penetrasi asuransi di Inggris
sebesar 9,5 persen.
Direktur Pengembangan Bisnis Prudential Indonesia, Ahmir ud Deen, mengatakan market share asuransi syariah di Indonesia hanya 4,5 persen dari total industri asuransi di Indonesia. Namun begitu, pertumbuhan asuransi syariah cukup signifikan. "Industri asuransi syariah tumbuh 44 persen pada 2012," ucapnya dalam Islamic Finance News (IFN) Forum di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (16/4).
Ahmir mengatakan berdasarkan sebuah survei, hanya satu persen yang mempunyai asuransi syariah. Ada tiga alasan utama yang membuat responden tidak memiliki asuransi syariah, yaitu tidak mengerti mekanisme produk, tidak menyadari dengan perbedaan asuransi syariah dan konvensional dan tidak mengetahui perusahaan yang menawarkan produk asuransi syariah. Melihat ketiga penyebab tersebut, Ahmir melihat perlu adanya edukasi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya asuransi syariah.
Vice President Swiss Re Retakaful, Fidrus Sukor, mengatakan di Asia Pasifik ada kesenjangan antara jumlah populasi berusia tua dengan jaminan kesehatan yang ada. Pasalnya pemerintah di negara-negara Asia Pasifik memiliki keterbatasan dana kesehatan, khususnya bagi penduduk berusia tua. "Industri asuransi syariah dan reasuransi syariah perlu menangkap adanya fenomena ini," ucap Sukor.
Pada 2012, Swiss Re Retakaful melakukan penelitian tentang kebutuhan kesehatan masa depan. Studi ini mengukur kesenjangan perlindungan kesehatan, yakni selisih antara tingkat biaya kesehatan yang diperlukan dibanding jumlah biaya-biaya kebutuhan lain. Kesenjangan di Asia Pasifik bisa mencapai 197 miliar dolar AS pada 2020. "Kesenjangan perlindungan kesehatan terbesar berada di Cina, India, Jepang dan Korea Selatan," ujar Sukor.
Pasar asuransi syariah di Malaysia dan Indonesia juga tidak dapat terhindar dari kesenjangan itu. Malaysia menghadapi kesenjangan 4,1 miliar dolar AS dan Indonesia 8 miliar dolar AS.
Berdasarkan penelitan Swiss Re Retakaful, pada 2010, pemerintah di negara-negara Asia Pasfik harus menanggung lebih dari 40 persen biaya kesehatan penduduknya. Sementara kebutuhan biaya kesehatan diprediksi meningkat menjadi 2,7 triliun dolar AS di 2020 dari 1,2 triliun pada 2010 di wilayah Asia Pasifik.
Masyarakat, kata Sukor, tidak bisa terus bergantung pada pemerintah. Untuk masyarakat hendaknya mencari cara lain dalam membiayai permasalahan kesehatan mereka. "Ini kesempatan besar bagi asuransi syariah untuk memanfaatkan pasar yang berkembang cepat dengan menyediakan solusi efektif dan menarik bagi konsumen," katanya.
Sumber: Republika Online
Direktur Pengembangan Bisnis Prudential Indonesia, Ahmir ud Deen, mengatakan market share asuransi syariah di Indonesia hanya 4,5 persen dari total industri asuransi di Indonesia. Namun begitu, pertumbuhan asuransi syariah cukup signifikan. "Industri asuransi syariah tumbuh 44 persen pada 2012," ucapnya dalam Islamic Finance News (IFN) Forum di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (16/4).
Ahmir mengatakan berdasarkan sebuah survei, hanya satu persen yang mempunyai asuransi syariah. Ada tiga alasan utama yang membuat responden tidak memiliki asuransi syariah, yaitu tidak mengerti mekanisme produk, tidak menyadari dengan perbedaan asuransi syariah dan konvensional dan tidak mengetahui perusahaan yang menawarkan produk asuransi syariah. Melihat ketiga penyebab tersebut, Ahmir melihat perlu adanya edukasi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya asuransi syariah.
Vice President Swiss Re Retakaful, Fidrus Sukor, mengatakan di Asia Pasifik ada kesenjangan antara jumlah populasi berusia tua dengan jaminan kesehatan yang ada. Pasalnya pemerintah di negara-negara Asia Pasifik memiliki keterbatasan dana kesehatan, khususnya bagi penduduk berusia tua. "Industri asuransi syariah dan reasuransi syariah perlu menangkap adanya fenomena ini," ucap Sukor.
Pada 2012, Swiss Re Retakaful melakukan penelitian tentang kebutuhan kesehatan masa depan. Studi ini mengukur kesenjangan perlindungan kesehatan, yakni selisih antara tingkat biaya kesehatan yang diperlukan dibanding jumlah biaya-biaya kebutuhan lain. Kesenjangan di Asia Pasifik bisa mencapai 197 miliar dolar AS pada 2020. "Kesenjangan perlindungan kesehatan terbesar berada di Cina, India, Jepang dan Korea Selatan," ujar Sukor.
Pasar asuransi syariah di Malaysia dan Indonesia juga tidak dapat terhindar dari kesenjangan itu. Malaysia menghadapi kesenjangan 4,1 miliar dolar AS dan Indonesia 8 miliar dolar AS.
Berdasarkan penelitan Swiss Re Retakaful, pada 2010, pemerintah di negara-negara Asia Pasfik harus menanggung lebih dari 40 persen biaya kesehatan penduduknya. Sementara kebutuhan biaya kesehatan diprediksi meningkat menjadi 2,7 triliun dolar AS di 2020 dari 1,2 triliun pada 2010 di wilayah Asia Pasifik.
Masyarakat, kata Sukor, tidak bisa terus bergantung pada pemerintah. Untuk masyarakat hendaknya mencari cara lain dalam membiayai permasalahan kesehatan mereka. "Ini kesempatan besar bagi asuransi syariah untuk memanfaatkan pasar yang berkembang cepat dengan menyediakan solusi efektif dan menarik bagi konsumen," katanya.
Sumber: Republika Online
Reporter : Qommarria Rostanti |
Redaktur : Nidia Zuraya |
Tags
News