Kompas.com
- Penerapan pelayanan berjenjang, sistem kapitasi, dan standardisasi
penggunaan obat mutlak dilakukan agar sistem asuransi kesehatan sosial
berjalan baik.
Demikian pendapat Direktur Utama PT Askes Fachmi Idris dan Sulastomo, mantan Ketua Tim SJSN 2001-2004, yang dihubungi secara terpisah, Kamis (23/5), di Jakarta. Mereka dimintai tanggapan terkait karut- marut pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan Pemprov DKI Jakarta.
Fachmi menyatakan, sampai saat ini premi Rp 23.000 per orang per bulan dikelola Unit Pelaksana Jamkesda Dinas Kesehatan DKI Jakarta. ”Dalam KJS PT Askes hanya verifikator, apakah klaim rumah sakit telah sesuai dengan INA-CBG. Selain itu, melakukan pendataan peserta serta membantu informasi teknologi untuk melihat pemanfaatan fasilitas kesehatan secara real time,” kata Fachmi.
INA-CBG (Indonesia Case Based Group) adalah sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya yang sama. Besaran tarif INA-CBG ditetapkan National Casemix Centre (NCC) Kementerian Kesehatan yang saat ini terdiri dari para wakil rumah sakit pemerintah dan jajaran Kementerian Kesehatan.
Menurut Fachmi, dalam skema asuransi kesehatan sosial, akses pelayanan kesehatan dilakukan berjenjang dari fasilitas pelayanan primer, sekunder, hingga tersier. Pelayanan primer adalah entitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, atau dokter keluarga) yang bertanggung jawab atas kesehatan populasi, sekitar 3.000 penduduk.
Penduduk yang sakit harus ditangani di pelayanan kesehatan primer. Jika sudah tidak mampu atau di luar kompetensi pelayanan kesehatan primer, baru pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit di daerah). Jika penyakit terlalu berat, baru dirujuk ke pusat rujukan nasional (RS Cipto Mangunkusumo). ”Pasien tidak bisa melakukan jalan pintas langsung ke rumah sakit,” kata Fachmi.
Berdasarkan bukti dari sejumlah negara didapatkan, setiap bulan dari 1.000 penduduk, sekitar 250 orang berobat. Dari jumlah itu, hanya 21 orang yang harus dirujuk untuk rawat jalan dan 9 orang dirawat inap di RS daerah. Hanya 1 orang dirujuk ke pusat rujukan nasional.
Seharusnya kapitasi
Entitas pelayanan primer dibayar dengan sistem kapitasi, pembayaran jumlah uang tertentu di depan untuk menjamin kesehatan populasi penduduk. Penduduk yang sakit dirawat dengan uang kapitasi. Makin sedikit penduduk yang sakit, dokter makin untung. Karena itu, dokter harus menjaga penduduk tetap sehat dengan penyuluhan preventif dan promotif. Dokter tidak bisa sembarangan merujuk pasien ke pelayanan sekunder. Jika yang dirujuk melebihi jumlah wajar, biaya perawatan dibayar dengan uang kapitasi.
Persoalannya, kata Fachmi, dalam pelaksanaan KJS, pelayanan primer masih dibayar secara fee for service (dibayar per pelayanan diberikan kepada pasien). Karena itu, pelayanan kesehatan berjenjang kurang berjalan karena pelayanan kesehatan primer bebas merujuk pasien ke rumah sakit.
PT Askes mendorong penerapan kapitasi di pelayanan primer. ”Pelayanan primer harus diperkuat dengan pemberian kapitasi yang memadai dan regulasi bahwa dana kapitasi bisa langsung dimanfaatkan penyedia pelayanan, dokter keluarga maupun puskesmas. Jadi untuk puskesmas tidak lagi diserahkan ke negara,” kata Fachmi.
Biaya kapitasi adalah 30 persen premi. Hal itu termasuk untuk penyediaan obat dan pemeriksaan penunjang. Dengan demikian, tidak ada lagi mismatch alat serta obat yang diperlukan dan yang tersedia di puskesmas.
Di sisi lain, rumah sakit dibayar dengan tarif paket INA-CBG yang didasarkan pada perhitungan rumah sakit pemerintah. Tarif itu menjadi berat bagi rumah sakit swasta mengingat gaji dokter dan pegawai, serta belanja modal (peralatan, alat kesehatan, dan obat-obatan) dibiayai sendiri, bukan oleh pemerintah. Karena itu, tarif INA-CBG kini ditinjau kembali.
Tim di NCC juga diusulkan ditambah wakil dari BPJS, wakil asosiasi rumah sakit swasta, akademisi, organisasi profesi serta wakil konsumen.
Terkait paket INA-CBG, agar tidak merugi provider harus menggunakan obat-obatan yang bioavailabilitas maupun bioekuivalensi sama dengan obat asli/ paten agar efisien.
Standardisasi obat
Sulastomo yang juga mantan Direktur Operasi PT Askes 1986-2000 menekankan, standardisasi penggunaan obat mutlak dilakukan. Biaya obat adalah 40-45 persen biaya pelayanan kesehatan. Dengan melakukan efisiensi biaya obat, biaya kesehatan bisa efisien.
Menurut Sulastomo, seharusnya pelaksanaan JKS maupun JKN tahun depan mengikuti sistem Askes. ”Sistem itu sudah teruji selama puluhan tahun, tinggal diteruskan,” katanya.
Dalam hal ini, pelayanan kesehatan dilakukan secara berjenjang, pelayanan primer dibayar dengan kapitasi, rumah sakit dibayar dengan tarif paket, dan obat menggunakan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO).
Kapitasi dan tarif paket harus dihitung sesuai harga keekonomian, karena mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tetap berlaku. Jika terlalu rendah, tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan yang mau bergabung. (ATK)
Demikian pendapat Direktur Utama PT Askes Fachmi Idris dan Sulastomo, mantan Ketua Tim SJSN 2001-2004, yang dihubungi secara terpisah, Kamis (23/5), di Jakarta. Mereka dimintai tanggapan terkait karut- marut pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan Pemprov DKI Jakarta.
Fachmi menyatakan, sampai saat ini premi Rp 23.000 per orang per bulan dikelola Unit Pelaksana Jamkesda Dinas Kesehatan DKI Jakarta. ”Dalam KJS PT Askes hanya verifikator, apakah klaim rumah sakit telah sesuai dengan INA-CBG. Selain itu, melakukan pendataan peserta serta membantu informasi teknologi untuk melihat pemanfaatan fasilitas kesehatan secara real time,” kata Fachmi.
INA-CBG (Indonesia Case Based Group) adalah sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis dan pemakaian sumber daya yang sama. Besaran tarif INA-CBG ditetapkan National Casemix Centre (NCC) Kementerian Kesehatan yang saat ini terdiri dari para wakil rumah sakit pemerintah dan jajaran Kementerian Kesehatan.
Menurut Fachmi, dalam skema asuransi kesehatan sosial, akses pelayanan kesehatan dilakukan berjenjang dari fasilitas pelayanan primer, sekunder, hingga tersier. Pelayanan primer adalah entitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, atau dokter keluarga) yang bertanggung jawab atas kesehatan populasi, sekitar 3.000 penduduk.
Penduduk yang sakit harus ditangani di pelayanan kesehatan primer. Jika sudah tidak mampu atau di luar kompetensi pelayanan kesehatan primer, baru pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit di daerah). Jika penyakit terlalu berat, baru dirujuk ke pusat rujukan nasional (RS Cipto Mangunkusumo). ”Pasien tidak bisa melakukan jalan pintas langsung ke rumah sakit,” kata Fachmi.
Berdasarkan bukti dari sejumlah negara didapatkan, setiap bulan dari 1.000 penduduk, sekitar 250 orang berobat. Dari jumlah itu, hanya 21 orang yang harus dirujuk untuk rawat jalan dan 9 orang dirawat inap di RS daerah. Hanya 1 orang dirujuk ke pusat rujukan nasional.
Seharusnya kapitasi
Entitas pelayanan primer dibayar dengan sistem kapitasi, pembayaran jumlah uang tertentu di depan untuk menjamin kesehatan populasi penduduk. Penduduk yang sakit dirawat dengan uang kapitasi. Makin sedikit penduduk yang sakit, dokter makin untung. Karena itu, dokter harus menjaga penduduk tetap sehat dengan penyuluhan preventif dan promotif. Dokter tidak bisa sembarangan merujuk pasien ke pelayanan sekunder. Jika yang dirujuk melebihi jumlah wajar, biaya perawatan dibayar dengan uang kapitasi.
Persoalannya, kata Fachmi, dalam pelaksanaan KJS, pelayanan primer masih dibayar secara fee for service (dibayar per pelayanan diberikan kepada pasien). Karena itu, pelayanan kesehatan berjenjang kurang berjalan karena pelayanan kesehatan primer bebas merujuk pasien ke rumah sakit.
PT Askes mendorong penerapan kapitasi di pelayanan primer. ”Pelayanan primer harus diperkuat dengan pemberian kapitasi yang memadai dan regulasi bahwa dana kapitasi bisa langsung dimanfaatkan penyedia pelayanan, dokter keluarga maupun puskesmas. Jadi untuk puskesmas tidak lagi diserahkan ke negara,” kata Fachmi.
Biaya kapitasi adalah 30 persen premi. Hal itu termasuk untuk penyediaan obat dan pemeriksaan penunjang. Dengan demikian, tidak ada lagi mismatch alat serta obat yang diperlukan dan yang tersedia di puskesmas.
Di sisi lain, rumah sakit dibayar dengan tarif paket INA-CBG yang didasarkan pada perhitungan rumah sakit pemerintah. Tarif itu menjadi berat bagi rumah sakit swasta mengingat gaji dokter dan pegawai, serta belanja modal (peralatan, alat kesehatan, dan obat-obatan) dibiayai sendiri, bukan oleh pemerintah. Karena itu, tarif INA-CBG kini ditinjau kembali.
Tim di NCC juga diusulkan ditambah wakil dari BPJS, wakil asosiasi rumah sakit swasta, akademisi, organisasi profesi serta wakil konsumen.
Terkait paket INA-CBG, agar tidak merugi provider harus menggunakan obat-obatan yang bioavailabilitas maupun bioekuivalensi sama dengan obat asli/ paten agar efisien.
Standardisasi obat
Sulastomo yang juga mantan Direktur Operasi PT Askes 1986-2000 menekankan, standardisasi penggunaan obat mutlak dilakukan. Biaya obat adalah 40-45 persen biaya pelayanan kesehatan. Dengan melakukan efisiensi biaya obat, biaya kesehatan bisa efisien.
Menurut Sulastomo, seharusnya pelaksanaan JKS maupun JKN tahun depan mengikuti sistem Askes. ”Sistem itu sudah teruji selama puluhan tahun, tinggal diteruskan,” katanya.
Dalam hal ini, pelayanan kesehatan dilakukan secara berjenjang, pelayanan primer dibayar dengan kapitasi, rumah sakit dibayar dengan tarif paket, dan obat menggunakan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO).
Kapitasi dan tarif paket harus dihitung sesuai harga keekonomian, karena mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tetap berlaku. Jika terlalu rendah, tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan yang mau bergabung. (ATK)
Sumber :
Kompas Cetak / kompascom
Editor :
Lusia Kus Anna