JAKARTA, KOMPAS.com -
Tenaga pemasar asuransi alias agen, kini resah. Penyebabnya adalah
besaran denda Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dalam kode etik
keagenan, jika mereka terbukti melakukan praktik poaching dan twisting. Selain nilainya besar, kode etik ini terlalu memberatkan. Apalagi masih ada perbedaan cara pandang soal poaching dan twisting antara agen dengan perusahaan.
Secara umum, poaching adalah praktik membajak agen asuransi dari satu perusahaan lain tanpa ada jeda waktu. Biasanya praktik ini disertai twisting, yaitu memindahkan polis nasabah dari perusahaan asuransi lama ke tempat agen tadi pindah.
Lilie
Chow, Direktur UPN Agency bilang, agen berhak pindah demi mendapatkan
jaminan lebih baik. Selama ini agen yang pindah bukan tanpa alasan,
tapi kebanyakan karena bermasalah dengan leader. Misalnya, agen sudah mempunyai kemampuan membuka kantor sendiri, tapi leader tidak memberi izin. Sebab jika membuka sendiri, leader berpotensi kehilangan komisi besar. Sementara agen tidak bisa mendirikan kantor sendiri tanpa tanda tangan leader. "Etika pindah ada, tapi kalau tidak diizinkan bagaimana?" kata Lilie.
Menurut Lilie, persoalan seperti itu tidak bisa dianggap poaching,
sebab agen pindah lantaran merasa dikekang di tempat kerjanya yang
lama. Lilie meminta, memperjelas soal kepindahan dulu, agar tidak setiap
kepindahan dipandang sebagai poaching.
Meski begitu, pada dasarnya Lilie setuju industri asuransi jiwa menerapkan denda praktik poaching.
Asalkan, definisi harus jelas. Selain itu, nilai denda lebih rendah.
Misalnya Rp 100 juta, bukan Rp 300 juta seperti dalam ketentuan.
Beberapa agen yang dikonfirmasi KONTAN juga mengaku keberatan dengan nilai denda. Deddy Karyanto, Divisional Vice President Million Dollar Round Table (MDRT) and Best Practice 2 Division, mengaku belum tahu perihal kode etik baru dari AAJI. Namun, Deddy setuju dengan Lilie yang minta agar definisi soal poaching dan twisting diperjelas. Jangan sampai, agen pindah perusahaan digolongkan melanggar etika.
Deddy
juga keberatan soal denda. "Kalau sebesar 300 juta tentunya sangat
memberatkan," ujar pria yang membawahi agen berpenghasilan premi
ratusan juta di China, Korea, Jepang, Asia Tenggara, Hong Kong, dan
Makau ini.
Aturan yang meresahkan agen
asuransi adalah standar praktik dan kode etik (SKPE) tenaga pemasar
AAJI. Dalam beleid itu, agen yang terbukti poaching kena getok denda sebesar Rp 300 juta per agen yang direkrut.
Sedangkan agen yang terbukti twisting
wajib membayar kepada perusahaan asuransi jiwa yang dirugikan sebesar
10 kali jumlah total premi untuk sisa masa pembayaran premi. Atau
minimal Rp 50 juta per polis.
Hingga akhir
tahun lalu tercatat total agen sebanyak 303.115 orang, naik 19,12
persen dari akhir tahun sebelumnya yakni 254.463 orang. Hingga 2014,
target jumlah agen mencapai 250.000.
Data AAJI menunjukkan, sepanjang tahun 2012, jalur pemasaran agen berkontribusi terbesar kedua setelah bancassurance. Dari total premi Rp 133,15 triliun, kontribusi agen 38,3 persen. (Feri Kristianto/Kontan)
Tags
News