Di Jerman ratusan ribu orang hidup tanpa jaminan asuransi kesehatan.
Karenanya mereka seringkali tidak dapat layanan kesehatan dan dampaknya
sering fatal.
Awalnya Mariana Santos mencoba mengabaikan rasa sakitnya, tapi akhirnya
sistem kesehatan Jerman hampir dibayar dengan hidupnya. Dokter darurat,
yang dipanggil perempuan muda di Karlsruhe itu menolak merawatnya.
"Karena saya tidak punya jaminan asuransi, saya harus bayar 400 Euro
tunai," tutur Mariana, "uang sebanyak itu tidak saya bawa."
Ia lalu naik taksi ke rumah sakit dan menghadapi masalah lebih besar. "Mereka minta 400 Euro untuk pemeriksaan, 300 Euro untuk perawatan dan 400 Euro lagi untuk obat-obatan, dan dibayar di muka." Meskipun perempuan itu kesakitan dan hampir tidak bisa jalan, ia tidak mendapat bantuan dokter. Ia meninggalkan rumah sakit dan hampir tidak tertolong.
Masalah Biaya
Sebuah kasus ekstrim tapi bukan kasus tunggal. Memang dokter-dokter di Jerman diwajibkan dalam kondisi darurat menangani mereka yang tidak punya jaminan asuransi, biaya nantinya bisa digantikan oleh badan sosial. Tapi jika menyangkut kondisi darurat, persepsinya bisa amat berbeda. Terutama bagi warga asing tanpa kartu jaminan asuransi, banyak dokter dan rumah sakit segera menolak, karena takut harus menanggung biayanya sendiri.
Selain itu ada ketakutan apakah pasien harus dilaporkan pada badan urusan orang asing. Karena UU orang asing Jerman sampai belum lama ini meminta agar dokter melaporkan kepada badan berwenang, jika mereka merawat orang yang tinggal ilegal di Jerman. 2009 ketetapan ini memang diubah dan dokter sejak itu dapat merujuk kewajiban kerahasiaan pasien untuk kasus-kasus ini. Tapi peraturan tidak menetapkan sejauh mana batas wajib tutup mulut ini dan apakah pekerja medis dibebaskan dari kewajiban melapor.
Lebih Baik Sakit Daripada Diusir
Komisi Etik Perhimpunan Dokter Jerman karena itu meminta pemerintah untuk peraturan lebih longgar bagi perawatan tanpa asuransi kesehatan. "Tidak bisa terjadi, bahwa orang berlatar belakang migran karena takut diusir atau tidak punya jaminan asuransi akhirnya tidak atau terlambat mencari dokter," kata Ulrich Clever, pejabat urusan HAM perhimpunan dokter Jerman pada konferensi pers di Berlin Kamis (02/5) .
Tanja Kroner, yang ikut mengolah pernyataan Komisi Etik perhimpunan
dokter untuk tema ini, mengusulkan pengambilalihan biaya oleh negara
dimana dokter boleh merahasiakan identitas pasien. "Dasarnya adalah
surat sakit anonim, seperti yang sudah ada di negara-negara
Skandinavia."
Menurut perkiraan komisi etik di Jerman ada 200.000 - 600.000 orang tanpa jaminan asuransi kesehatan. Di antaranya termasuk orang-orang "yang sembunyi" karena sedang menghadapi proses pengusiran, pemohon suaka yang ditolak, orang tanpa kewarganegaraan tapi juga anak-anak yang orangtuanya tidak punya tempat tinggal tetap. Selain itu juga warga Uni Eropa terutama dari Bulgaria dan Rumania, yang tidak punya asuransi kesehatan dan bekerja ilegal misalnya di proyek bangunan atau di rumah tangga.
Kematian yang Bisa Dihindari
Kasus seperti Mariana Santos, yang meskipun sakit akut disuruh pergi oleh rumah sakit di Karlsruhe, menurut pendapat perhimpunan dokter Jerman adalah kasus pengecualian. Perempuan Brasil itu dua hari kemudian pulang ke negaranya dimana di rumah sakit di sana didiagnosa menderita radang kandung kemih. Radangnya sudah sampai menyerang ginjal. "Itu waktu paling akhir," tutur Mariana, yang sementara ini menjadi jurnalis dan tinggal di Bonn. "Satu hari lebih lambat, semua akan terlambat."
Ia lalu naik taksi ke rumah sakit dan menghadapi masalah lebih besar. "Mereka minta 400 Euro untuk pemeriksaan, 300 Euro untuk perawatan dan 400 Euro lagi untuk obat-obatan, dan dibayar di muka." Meskipun perempuan itu kesakitan dan hampir tidak bisa jalan, ia tidak mendapat bantuan dokter. Ia meninggalkan rumah sakit dan hampir tidak tertolong.
Sebuah kasus ekstrim tapi bukan kasus tunggal. Memang dokter-dokter di Jerman diwajibkan dalam kondisi darurat menangani mereka yang tidak punya jaminan asuransi, biaya nantinya bisa digantikan oleh badan sosial. Tapi jika menyangkut kondisi darurat, persepsinya bisa amat berbeda. Terutama bagi warga asing tanpa kartu jaminan asuransi, banyak dokter dan rumah sakit segera menolak, karena takut harus menanggung biayanya sendiri.
Selain itu ada ketakutan apakah pasien harus dilaporkan pada badan urusan orang asing. Karena UU orang asing Jerman sampai belum lama ini meminta agar dokter melaporkan kepada badan berwenang, jika mereka merawat orang yang tinggal ilegal di Jerman. 2009 ketetapan ini memang diubah dan dokter sejak itu dapat merujuk kewajiban kerahasiaan pasien untuk kasus-kasus ini. Tapi peraturan tidak menetapkan sejauh mana batas wajib tutup mulut ini dan apakah pekerja medis dibebaskan dari kewajiban melapor.
Lebih Baik Sakit Daripada Diusir
Komisi Etik Perhimpunan Dokter Jerman karena itu meminta pemerintah untuk peraturan lebih longgar bagi perawatan tanpa asuransi kesehatan. "Tidak bisa terjadi, bahwa orang berlatar belakang migran karena takut diusir atau tidak punya jaminan asuransi akhirnya tidak atau terlambat mencari dokter," kata Ulrich Clever, pejabat urusan HAM perhimpunan dokter Jerman pada konferensi pers di Berlin Kamis (02/5) .
Menurut perkiraan komisi etik di Jerman ada 200.000 - 600.000 orang tanpa jaminan asuransi kesehatan. Di antaranya termasuk orang-orang "yang sembunyi" karena sedang menghadapi proses pengusiran, pemohon suaka yang ditolak, orang tanpa kewarganegaraan tapi juga anak-anak yang orangtuanya tidak punya tempat tinggal tetap. Selain itu juga warga Uni Eropa terutama dari Bulgaria dan Rumania, yang tidak punya asuransi kesehatan dan bekerja ilegal misalnya di proyek bangunan atau di rumah tangga.
Kematian yang Bisa Dihindari
Kasus seperti Mariana Santos, yang meskipun sakit akut disuruh pergi oleh rumah sakit di Karlsruhe, menurut pendapat perhimpunan dokter Jerman adalah kasus pengecualian. Perempuan Brasil itu dua hari kemudian pulang ke negaranya dimana di rumah sakit di sana didiagnosa menderita radang kandung kemih. Radangnya sudah sampai menyerang ginjal. "Itu waktu paling akhir," tutur Mariana, yang sementara ini menjadi jurnalis dan tinggal di Bonn. "Satu hari lebih lambat, semua akan terlambat."
Indonesia masih jauh dari Jerman kayaknya.
ReplyDelete