Sebagai pribadi, saya berpendapat bahwa tarif asuransi properti sudah gila. Sebagaimana kita tahu, tarif asuransi atau premi haruslah sebanding dengan risiko yang diterima oleh perusahaan asuransi. Di dalam tarif tersebut, sudah terdapat perhitungan yang melibatkan aspek loss ratio, diskon ataupun brokerage, biaya asuransi, dan juga keuntungan untuk perusahaan asuransi.
Kenyataannya kini tidak begitu. Tarif asuransi properti begitu rendah. Persaingan broker yang memberikan rate dan terms and condition yang begitu menguntungkan tertanggung secara tidak langsung memaksa perusahaan asuransi untuk 'menuruti' tarif yang dikehendaki broker. Di sisi lain, persangian antar perusahaan asuransi juga menimbulkan depresiasi tarif asuransi yang begitu rendah.
Anda sendiri bisa membayangkan tarif untuk asuransi properti dan gempa bumi, untuk setiap lokasi risiko, perusahaan asuransi menggunakan tarif zona gempa ditambah dengan tarif asuransi 'segala risiko properti' hanya sebesar 0,0001%. Dengan demikian, untuk setiap Rp. 1,000,000,000 (satu milyar rupiah), Anda hanya perlu membayar Rp. 1,000 (seribu rupiah). Gila bukan? Saya sendiri menyebutnya sebagai tarif gila.
Belum lagi untuk properti yang masuk dalam kategori medium risk, seperti hotel, villa, maupun gedung perkantoran. Tarif standar zona gempa dan propery sudah tidak lagi berlaku. Anda akan menjumpai tarif yang lebih gila, dengan rate hingga 0,06% sudah mencakup property all risk, gempa bumi, banjir, dan sebagainya.
Indonesia Rendezvous ke-19 pada 23-26 Oktober 2013 yang digelar di Nusa Dua, Bali tentunya masih membahas mengenai tarif yang sudah gila ini. Saya sendiri berharap pertemuan besar ini membawa hasil yang baik. Saya memahami, persoalan ini tidak mudah diselesaikan. Tapi bagi saya pertemuan ini akan sia-sia bila persoalan ini tidak menemukan titik cerahnya.
Jakarta, 23 Oktober 2013
Afrianto Budi Purnomo, SS MM