REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) sedang mengkaji transformasi Asuransi Ekspor menjadi BUMN
reasuransi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap, merger BUMN
reasuransi dapat dipercepat dan bisa selesai pada akhir tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, OJK dan Kementerian BUMN tengah membicarakan merger tersebut. Asuransi Ekspor rencananya akan digabungkan (inbreng) dengan BUMN lainnya, yakni PT Reasuransi Nasional Indonesia (anak usaha PT Askrindo), PT Tugu Reasuransi Indonesia (cucu usaha PT Pertamina), dan PT Reasuransi Internasional Indonesia (anak usaha PT Reasuransi Umum Indonesia). “Kita berharap akhir tahun clear sehingga kita bisa umumkan di awal tahun,” ujar Muliaman di Jakarta, Senin (11/11).
Muliaman melanjutkan, peraturan mengenai hal tersebut sudah ada. Langkah merger dianggap akan memperbaiki neraca pembayaran sehingga tidak banyak devisa yang harus keluar. Selama ini, Indonesia membayar premi reasuransi ke luar negeri. “Yang penting kita membutuhkan perusahaan asuransi yang kuat yang bisa memberikan pelayanan jasa, terutama yang reasuransi,” kata dia.
OJK, kata Muliaman, akan menutup proyek-proyek reasuransi ke luar negeri yang jumlahnya cukup besar sehingga Indonesia dapat melakukan penghematan.
Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Firdaus Djaelani menambahkan, pemerintah terus mendorong penetrasi asuransi ke kalangan masyarakat berpenghasilan rendah lewat asuransi mikro. Asuransi dinilai tidak hanya untuk orang berkalangan menengah ke atas, tetapi juga dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Upaya tersebut menjadi bagian dari inklusi keuangan (financial inclusion) atau keuangan untuk semua. Apabila perekonomian tumbuh, akan terjadi pergerakan dari kalangan bawah ke kelas menengah. “Masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan asuransi mikro sehingga pada saat bergerak menjadi masyarakat kelas menengah, mereka sudah mengenal asuransi,” ujarnya saat jumpa pers Konferensi Asuransi Mikro Internasional ke-9 di Jakarta, Selasa (12/11).
Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Kornelius Simanjuntak mengatakan, Indonesia mempunyai potensi asuransi mikro yang cukup besar. Sayangnya, hingga kini potensi tersebut belum digarap maksimal. “Penetrasi asuransi mikro Indonesia masih rendah bila dibandingkan Singapura dan Filipina,” ucapnya.
Sektor asuransi hanya 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, Indonesia termasuk negara yang rentan bencana alam. Untuk itu, produk asuransi mikro akan sangat sesuai bagi masyarakat Indonesia.
CEO National Insurance VimoSEWA Cooperative Ltd Arman Oza mengatakan, asuransi mikro di Indonesia bukanlah hal baru karena telah diluncurkan sejak 2000. Perkembangan nyata terjadi dalam dua hingga tiga tahun terakhir, asuransi mikro Indonesia telah mencakup 1,3 juta jiwa dan properti.
Dia mengatakan, penetrasi rendah asuransi hampir dialami oleh seluruh negara berkembang. Pertumbuhan asuransi tidak bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi. Hambatannya, yakni pemahaman konsep asuransi, terutama pada masyarakat penghasilan rendah. “Masyarakat menganggap risiko bukan hal prioritas,” ucapnya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, OJK dan Kementerian BUMN tengah membicarakan merger tersebut. Asuransi Ekspor rencananya akan digabungkan (inbreng) dengan BUMN lainnya, yakni PT Reasuransi Nasional Indonesia (anak usaha PT Askrindo), PT Tugu Reasuransi Indonesia (cucu usaha PT Pertamina), dan PT Reasuransi Internasional Indonesia (anak usaha PT Reasuransi Umum Indonesia). “Kita berharap akhir tahun clear sehingga kita bisa umumkan di awal tahun,” ujar Muliaman di Jakarta, Senin (11/11).
Muliaman melanjutkan, peraturan mengenai hal tersebut sudah ada. Langkah merger dianggap akan memperbaiki neraca pembayaran sehingga tidak banyak devisa yang harus keluar. Selama ini, Indonesia membayar premi reasuransi ke luar negeri. “Yang penting kita membutuhkan perusahaan asuransi yang kuat yang bisa memberikan pelayanan jasa, terutama yang reasuransi,” kata dia.
OJK, kata Muliaman, akan menutup proyek-proyek reasuransi ke luar negeri yang jumlahnya cukup besar sehingga Indonesia dapat melakukan penghematan.
Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Firdaus Djaelani menambahkan, pemerintah terus mendorong penetrasi asuransi ke kalangan masyarakat berpenghasilan rendah lewat asuransi mikro. Asuransi dinilai tidak hanya untuk orang berkalangan menengah ke atas, tetapi juga dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Upaya tersebut menjadi bagian dari inklusi keuangan (financial inclusion) atau keuangan untuk semua. Apabila perekonomian tumbuh, akan terjadi pergerakan dari kalangan bawah ke kelas menengah. “Masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan asuransi mikro sehingga pada saat bergerak menjadi masyarakat kelas menengah, mereka sudah mengenal asuransi,” ujarnya saat jumpa pers Konferensi Asuransi Mikro Internasional ke-9 di Jakarta, Selasa (12/11).
Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Kornelius Simanjuntak mengatakan, Indonesia mempunyai potensi asuransi mikro yang cukup besar. Sayangnya, hingga kini potensi tersebut belum digarap maksimal. “Penetrasi asuransi mikro Indonesia masih rendah bila dibandingkan Singapura dan Filipina,” ucapnya.
Sektor asuransi hanya 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, Indonesia termasuk negara yang rentan bencana alam. Untuk itu, produk asuransi mikro akan sangat sesuai bagi masyarakat Indonesia.
CEO National Insurance VimoSEWA Cooperative Ltd Arman Oza mengatakan, asuransi mikro di Indonesia bukanlah hal baru karena telah diluncurkan sejak 2000. Perkembangan nyata terjadi dalam dua hingga tiga tahun terakhir, asuransi mikro Indonesia telah mencakup 1,3 juta jiwa dan properti.
Dia mengatakan, penetrasi rendah asuransi hampir dialami oleh seluruh negara berkembang. Pertumbuhan asuransi tidak bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi. Hambatannya, yakni pemahaman konsep asuransi, terutama pada masyarakat penghasilan rendah. “Masyarakat menganggap risiko bukan hal prioritas,” ucapnya.
Berdasarkan hasil penelitian Munich Re Foundation dan GIZ, sektor
asuransi mikro di Asia dan Oseania mencapai 172 juta jiwa dan properti
yang menggambarkan 40 persen laju pertumbuhan pada 2010 dan 2012.
India memimpin pasar dengan lebih dari 100 juta. Malaysia dan
Indonesia memiliki pasar mikro dengan prospek tercerah dengan laju
masing-masing sebesar 185 persen dan lebih dari 100 persen. Meski
prestasi ini membanggakan, sektor asuransi mikro masih kurang dari 5
persen penduduk yang tinggal di Asia dan Oseania.
“Jika penduduk berpenghasilan rendah tidak mampu mengelola risiko, maka mereka tidak akan lepas dari rantai kemiskinan," kata Wakil Ketua Munich Re Foundation Dirk Reinhard.
Chair Microinsurance Network Head Craig Churchill menyebutkan, ada alternatif strategi agar perusahaan mau menyelenggarakan asuransi mikro, yakni dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain. n satya festiani/qommarria rostanti ed: eh ismail)
“Jika penduduk berpenghasilan rendah tidak mampu mengelola risiko, maka mereka tidak akan lepas dari rantai kemiskinan," kata Wakil Ketua Munich Re Foundation Dirk Reinhard.
Chair Microinsurance Network Head Craig Churchill menyebutkan, ada alternatif strategi agar perusahaan mau menyelenggarakan asuransi mikro, yakni dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain. n satya festiani/qommarria rostanti ed: eh ismail)
Sumber: Republika