Oleh: Afrianto Budi SS MM
Harus diakui bahwa industri asuransi di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Pertumbuhan pendapatan premi asuransi nasional sejak tahun 2006 – 2010 rata-rata sebesar 21.4% per tahun. Jumlah pendapatan premi asuransi nasional rata-rata sebesar Rp91,1 triliun pertahun (premi asuransi kerugian, reasuransi, asuransi jiwa dan asuransi sosial). Perkembangan ini tidak terlepas dari dukungan reasuransi bagi asuransi-asuransi di Indonesia.
Meski demikian, perkembangan asuransi dan reasuransi di Indonesia masih sangat tergantung dengan pasar internasional. Setiap tahunnya, reinsurance premium flight ke luar negeri rata-rata sebesar Rp7,1 triliun. Jumlah itu sangat besar bila dibanding dengan reinsurance premium flight yang masuk ke dalam negeri, yaitu sebesar Rp. 586,4 milyar pertahun (Data perasuransian Indonesia - BAPEPAM-LK, 2010).
Lemahnya modal reasuransi dalam negeri membuat asuransi di Indonesia didominasi oleh dukungan reasuransi dari luar negeri. Sangat besarnya devisa yang keluar dari
Indonesia ke negara-negara reasuransi mendorong OJK dan kementrian BUMN
merencanakan peleburan reasuransi nasional menjadi satu. Perusahaan reasuransi yang akan digabungkan itu adalah PT Reasuransi
Nasional Indonesia (anak usaha PT Askrindo), PT Tugu Reasuransi
Indonesia (cucu usaha PT Pertamina), dan PT Reasuransi Internasional
Indonesia (anak usaha PT Reasuransi Umum Indonesia). Ketiga perusahaan tersebut akan digabungkan,
dan akan berada dibawah PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI).
Jika penggabungan atau merger itu dilakukan, maka diharapkan reasuransi dalam negeri akan mendominasi pasar asuransi Indonesia. Indonesia pun akan menghemat devisa yang 'lari' ke luar negeri. Pertumbuhan asuransi yang semakin pesat tentunya menjadi isyarat akan begitu positifnya hasil dari merger tersebut bagi pertumbuhan keuangan nasional.
Bagi keuangan nasional tentu hasilnya akan sangat positif. Namun bagi perusahan-perusahaan asuransi bisa jadi akan menimbulkan suatu kesulitan tersendiri. Kesulitan tersebut terutama dalam mendapatkan dukungan reasuransi fakultatif untuk risiko-risiko khusus. Kita tahu bahwa empat reasuransi yang ada saat ini memiliki karakter yang khas. Ada kalanya, reasuransi yang satu setuju untuk mem-backup risiko tertentu, namun reasuransi lainnya menolak. Demikian pula sebaiknya. Banyaknya peluang untuk mendapatkan dukungan fakultatif, tentu menguntungkan perusahaan reasuransi. Beda halnya jika hanya ada satu atau dua perusahaan reasuransi. Peluang untuk mendapatkan dukungan reasuransi fakultatif cenderung berkurang.
Masih ada banyak PR yang harus diselesaikan untuk mematangkan rencana besar ini. Pertama, beberapa bagian saham dari perusahaan reasuransi BUMN tersebut dimiliki oleh swasta. Jika swasta enggan untuk menjual saham yang dimilikinya kepada pemerintah tentu dapat menimbulkan kesulitan tersendiri. Kedua, perlu ada kajian keuangan yang lebih dalam mengenai kapasitas reasuransi yang dibutuhkan untuk mendukung bisnis dari seluruh asuransi di Indonesia. Ketiga, apakah perlu ada suntikan dana lebih besar dari pemerintah pusat untuk menciptakan raksasa reasuransi yang dapat mendominasi bisnis asuransi Indonesia. Keempat, merger selalu menghasilkan efisiensi sumber daya manusia (SDM). Bagaimana menampung SDM dari beberapa perusahaan reasuransi yang akan dimerger? Semua itu adalah masalah besar yang harus dipikirkan secara masak oleh OJK dan kementrian BUMN.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete