Merdeka.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan tarif premi untuk asuransi banjir dengan sistem zonasi. Beleid itu berlaku mulai 1 Februari mendatang.
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) puas dengan ketetapan yang
diumumkan OJK. Sebab, daerah langganan banjir dan yang jarang terdampak
bencana itu dibedakan besaran preminya. Ketetapan ini juga membuat
pengusaha bisa menjelaskan pada masyarakat mengapa premi asuransi banjir
berbeda-beda, tergantung lokasi.
"Tarif premi banjir ini sudah sudah didasarkan pada statistik, pada
analisis profil risiko, klaim-klaim di masa lampau. Tidak diambil dari
langit," kata Ketua Umum AAUI Cornelius Simanjuntak, di Jakarta, Rabu
(15/1).
Merujuk ikhtisar OJK, ada empat zona banjir yang berimplikasi pada
besaran tarif premi. Zona pertama artinya adalah daerah yang tidak
pernah atau jarang mengalami banjir, dengan ketinggian air maksimal 30
centimeter (cm).
Zona kedua adalah daerah yang pernah mengalami banjir di ketinggian
30-60 cm. Zona ketiga, masuk kategori risiko tinggi, adalah yang biasa
tergenang air saban tiga tahun sekali.
Sedangkan zona empat, adalah kawasan sangat berisiko, dengan asumsi mengalami banjir setiap tahun.
Cornelius yakin, ketetapan soal tarif banjir ini tidak akan merugikan
pemegang polis. Justru mereka mendapat kepastian, apakah besaran premi
yang dibayarkan sudah sesuai risiko.
"Aturan ini baik untuk semua pihak, sebab ada beberapa ratus jenis risiko, sangat bervariasi, tidak hanya satu harga," ujarnya.
Ditemui terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan
Non-Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani berharap adanya surat edaran soal
tarif premi banjir bisa dipahami pelaku usaha. Dia yakin, besaran premi
yang menjadi acuan sudah mempertimbangkan banyak faktor.
"Pelaku asuransi membutuhkan ketentuan yang mengatur tarif dan tarif
premi banjir itu harus bisa diterima dengan syarat terukur," tandasnya.
Dalam ketentuan anyar yang termuat di Surat Edaran Nomor 6/D.05/2013,
OJK menetapkan bahwa premi asuransi banjir dipatok 0,005-0,55 persen
dari tarif premi murni, ditambah biaya administrasi dan keuntungan.
Selain itu, unsur komisi perusahaan ditetapkan maksimal 15 persen
dari premi murni, dihitung dengan sistem burning cost. Artinya, klaim
netto dibagi total dengan nilai asuransi.
Ditambah lagi, risiko asuransi harta benda yang terendam banjir, kini
ditentukan underwriter perusahaan. Tanggungannya kini minimum 10 persen
dari ganti rugi yang disetujui.
Sumber: Merdeka