TRIBUNNEWS.COM -- Dalam dunia dagang, tawaran harga
murah dengan pelbagai diskon hingga obral bukanlah barang tabu. Adalah
lazim bagi para pedagang menawarkan harga serendah mungkin demi menggaet
pelanggan dan memenangi persaingan. Semua itu demi meraup keuntungan.
Namun,
saat obral dan diskon semakin tak terkendali, efeknya sangat buruk.
Alih-alih menangguk laba, pedagang akan merugi. Gambaran seperti itulah
yang menimpa industri asuransi beberapa tahun terakhir.
Masalahnya, obral harga dalam dunia dagang hanya merugikan pedagang,
sementara di dunia asuransi akan berdampak pula ke konsumen. Gara-gara
merugi, perusahaan asuransi tak bisa membayar klaim nasabah.
Demi
memutus “lingkaran setan” tersebut, Otoritas Jasa Keuangan merilis Surat
Edaran (SE) Nomor 6/D.05/2013 pada akhir 2013 lalu. Beleid ini mengatur
penetapan tarif premi serta ketentuan biaya akuisisi pada lini usaha
asuransi kendaraan bermotor dan asuransi harta benda. Aturan yang mulai
berlaku 1 Februari mendatang ini juga mencakup tarif premi untuk risiko
banjir, gempa bumi, letusan gunung, dan tsunami.
Deputi Komisioner
Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) II OJK Dumoly F. Pardede
mengatakan, standardisasi tarif premi asuransi merupakan hal yang jamak
di berbagai negara.
Apalagi, OJK merasa perlu mengatur standardisasi tarif premi asuransi
di Indonesia lantaran selama ini kecenderungan tarif premi asuransi
umum berada di bawah harga wajar alias underprice. “Tarif premi asuransi
kadang dipangkas hingga 50%,” katanya.
Wakil Direktur Utama Pan
Pacific Insurance Junaidy mengakui persaingan di industri asuransi umum
sangat ketat. Lantaran tak ingin kehilangan konsumen, perusahaan
asuransi berlomba-lomba membanting tarif premi yang bermuara ke perang
tarif.
Apalagi, pengamat asuransi Munawar Kasan menambahkan, konsumen dan
pialang asuransi memiliki posisi tawar yang kuat untuk meminta tarif
lebih rendah. Maklum, jumlah perusahaan asuransi umum atau kerugian
banyak, sedangkan permintaan minim.
Banting tarif premi, kata dia,
paling terasa pada bisnis asuransi harta benda alias properti. Kalau
tidak didongkrak tarif premi asuransi gempa bumi, tarif premi asuransi
properti bisa dibilang tak ada harganya.
Penilaian serupa diutarakan Kepala Bidang Statistik Informasi dan
Analisa Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sekaligus Anggota Tim
Tarif OJK Budi Hermawan. Ia bilang, hanya asuransi gempa bumi yang
memiliki harga. Sementara, risiko lain seperti kebakaran dan banjir
hampir tidak memiliki harga. Makanya, “Tarif premi asuransi properti
bisa 0,0001 per mil,” imbuh Junaidy.
Begitu pula, tarif premi
kendaraan bermotor yang terbilang rendah. Dumoly mengatakan, tarif premi
kendaraan bermotor di Indonesia paling murah di seluruh dunia. Padahal,
jumlah kendaraan di Indonesia paling banyak. Kalau premi terlalu murah,
perusahaan akan kesulitan membayar klaim.
Perang layanan
Firdaus
Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB dan anggota Dewan Komisioner
OJK, mengatakan, penetapan tarif premi ini bertujuan menghentikan
perang tarif yang terjadi di industri asuransi kerugian. Tarif premi
yang terlalu rendah bisa mengakibatkan perusahaan asuransi tidak
memiliki dana saat terjadi klaim.
“Ini berbahaya bagi konsumen,” tandasnya.
Tapi,
demi melindungi konsumen dari kenaikan harga premi yang tinggi, OJK
menetapkan batas atas dan bawah tarif premi asuransi properti dan
kendaraan bermotor. Dus, menurut Dumoly, perusahaan asuransi tetap
memiliki ruang untuk berkompetisi.
Selain tarif premi, OJK
menetapkan batas maksimum biaya akuisisi dan diskon. Penjelasan
sederhananya, biaya akuisisi adalah komisi atau imbalan yang dibayarkan
perusahaan asuransi kepada agen pemasaran, bank, perusahaan multifi
nance, dan pialang asuransi yang mendistribusikan produk asuransi.
Budi
mengatakan, biaya akuisisi yang dikeluarkan perusahaan asuransi selama
ini cukup besar. Porsinya mencapai 45% nilai premi bruto. Alhasil, premi
yang masuk ke perusahaan asuransi semakin kecil.
Karena itu,
batas maksimum biaya akuisisi dan diskon juga perlu diatur. Kalau tidak,
penetapan tarif premi akan percuma. “Jangan sampai komisi lebih besar
ketimbang risiko yang harus ditanggung asuransi,” kata Munawar.
Dumoly
meminta perusahaan asuransi mematuhi aturan itu. Kalau ada yang
melanggar, OJK siap menjatuhkan sanksi. “Kami bertanggungjawab mengawasi
penerapan aturan,” katanya. Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor
optimistis peraturan baru itu akan menyehatkan persaingan di industri
asuransi. Alhasil, perang tarif akan bergeser menjadi perang layanan.
Kalau konsumen, sih, tentu lebih suka tarif premi murah, asalkan pembayaran klaim, kalau kena musibah, terjamin! (Herry Prasetyo/Kontan Mingguan)
Sumber: Tribunnews
Tags
News