Jakarta – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyatakan, kurangnya inovasi pada produk asuransi umum menjadi tantangan industri ini di masa mendatang.
Untuk bertumbuh pesat, harus menciptakan produk sesuai keinginan pasar.
Ketua Umum AAUI Ahmad Fauzie Darwis menuturkan, produk asuransi umum di Indonesia masih konvensional sehingga sulit berkembang. Seharusnya perusahaan asuransi umum tidak hanya menjual produk yang selama ini ada.
“Kalau menurut saya asuransi umum harus mulai interaktif menciptakan produk. Mereka (industri asuransi umum) harus mulai mencari ceruk pasar yang yang sesuai dengan kondisi pasar,” ujar dia dalam acara diskusi bertema "Industrial, Economy, and Business Outlook Talkshow" pada "Indonesia Operational Excellence Conference and Award 2014 (Opexcon 2014)" di Jakarta, Senin (22/9).
Fauzie mengatakan, umumnya asuransi umum hanya menawarkan asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, pengangkutan, rekayasa konstruksi engineering, dan alat berat. Padahal, industri asuransi umum Tanah Air dapat mengkombinasikan produk asuransi umum.
“Misalnya, pada produk asuransi kebakaran bisa ditambahkan perlindungan untuk kecelakaan dan sewa rumah. Kalau sekarang kan sendiri-sendiri. Jadi semestinya ada produk inovatif yang menggabungkan beberapa risiko, sehingga orang tidak perlu banyak membeli polis,” jelas dia.
Namun dia mengakui, inovasi-inovasi tersebut sulit diterapkan jika perusahaan reasuransi tidak mau meng-cover (melindungi). Padahal apabila nilai nominal produk dan uang pertanggungannya besar, perusahaan asuransi umum akan membutuhkan reasuransi.
“Permasalahannya nanti, kalau perusahaan reasuransi belum paham produk baru itu, mereka ngga mau meng-cover. Sebab, mereka tidak punya data. Untuk itu, nanti diperlukan sosialiasi dari perusahaan asuransi umum kepada reasuransi,” ujar dia.
Reasuransi adalah istilah yang digunakan saat satu perusahaan asuransi melindungi dirinya terhadap risiko asuransi dengan memanfaatkan jasa dari perusahaan asuransi lain. Alasan perusahaan asuransi melakukan reasuransi salah satunya pembagian risiko. Pada dasarnya hal ini mirip dengan tindakan hedging pada industri keuangan lainnya.
Fauzie memberikan contoh pada produk asuransi ternak sapi. Menurut dia, saat pertama kali diluncurkan, tidak banyak perusahaan asuransi dan reasuransi yang berminat, karena produk tersebut memproteksi pencurian, meninggal, terkena penyakit, dan kredit sapi yang menunggak.
Tetapi, produk asuransi ini justru berkembang di Bali. Pasalnya, masyarakat paguyuban Bali selalu tolong menolong terkait utang piutang. "Di sana tidak terjadi pencurian sapi, karena sapi dihormati. Jadi risikonya tinggal penyakit saja,” jelas dia.
Fauzie menuturkan, tantangan industri asuransi umum juga terletak pada sumber daya manusia (SDM). Banyak orang awam beranggapan bekerja pada perusahaan asuransi hanya menjadi agen. Padahal faktanya mereka bisa menjadi aktuaris maupun underwritter.
Dia mengatakan, Indonesia berpotensi memiliki tenaga aktuaris yang mumpuni sebab dasar pendidikan aktuaris adalah matematika. Adapun orang-orang yang menempuh pendidikan di jurusan tersebut tergolong banyak di negara ini. Sayangnya, khusus industri asuransi umum saja baru memiliki delapan orang aktuaris.
Sejak tahun lalu pemerintah menargetkan, dalam lima tahun mendatang jumlah aktuaris di Indonesia dapat mencapai 1.000 orang, dengan 600 orang berada di industri asuransi umum. “Jadi mulai sekarang kami harus mulai menyiapkan penambahan tenaga. Tetapi rasanya, tahun depan jumlahnya masih sedikit,” ujar dia.
Sumber: Beritasatu