Kebijakan atau regulasi yang akan
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai Optimalisasi
Kapasitas Dalam Negeri banyak ditanggapi positif oleh perusahaan pialang
perasuransian, khususnya pialang reasuransi. Tapi ada beberapa hal yang
diungkapkan oleh para pialang reasuransi yang masih harus diselesaikan.
Apa bedanya pialang asuransi atau
reasuransi dengan agen asuransi? Agen asuransi jelas mewakili
perusahaan-perusahaan asuransi jiwa maupun asuransi umum, yang menjual
produk-produknya kepada nasabah atau tertanggung (insured). Sedangkan pialang (broker)
asuransi dan reasuransi mewakili nasabah atau tertanggung dalam
berhubungan dengan perusahaan asuransi, baik itu asuransi jiwa maupun
asuransi umum.
Menurut pendiri perusahaan pialang asuransi yang berpusat di Jakarta PT Mitra, Iswara & Rorimpandey, Fred Iswara, broker asuransi itu seperti pengacara bagi nasabah atau tertanggung dalam berhubungan dengan perusahaan asuransi. “Kita membawa bisnis ke perusahaan asuransi dan mendapat brokerage atau komisi dari perusahaan asuransi. Bukan dari nasabah atau tertanggung. Tertanggung tidak membayar sama sekali ke pialang asuransi,” katanya kepada para management trainee di perusahaannya pada suatu ketika.
Fred Iswara menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, kemudian melanjutkan ke State University of New York, di Buffalo, New York, Amerika Serikat. Sebelum terjun ke bisnis asuransi, dia menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan menjadi asisten Profesor Mochtar Kusumaatmadja.
Perbedaan antara agen asuransi dan pialang asuransi juga dikemukakan oleh Direktur Teknik PT Paragon Reinsurance Brokers Sri Hadiah Watie. Dia mengungkapkan siapa pialang reasuransi dan siapa agen asuransi, dengan mengutip Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian yaitu: “Pialang reasuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan dan atau penyelesaian klaim”.
Sedangkan agen asuransi, menurut Sri Hadiah Watie, juga mengutip undang-undang yang sama, “Agen asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dalam memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah”.
Apa yang dikemukakan oleh Sri Hadiah Watie, yang alumnus Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta, mengenai batasan seorang pialang reasuransi dan agen asuransi tersebut diuraikan dalam tulisannya yang berjudul “Saluran Distribusi Pada Bisnis Perasuransian” dalam buku Mozaik Asuransi Indonesia (2014) yang diterbitkan oleh Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi).
Terlepas dari perbedaan yang ada antara agen asuransi dan pialang asuransi atau reasuransi, menurut beberapa pelaku bisnis perasuransian bahwa pialang reasuransi bakal memperoleh bisnis yang lebih besar pada tahun 2015 ini. Karena adanya regulasi mengenai optimalisasi kapasitas dalam negeri, yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Suatu kebijakan yang mengerem keluarnya premi asuransi dari pasar Indonesia ke pasar internasional, sehingga diharapkan defisit tidak terlalu besar dan hanya terjadi ke luar kalau benar-benar memang diperlukan.
Menurut Deputi Direktur PT Andalan Resiko Lestari Reinsurance Brokers M. Dede Kurniadi, regulasi yang digulirkan oleh OJK memang membawa harapan akan meningkatnya bisnis pialang reasuransi. “Tapi, untuk risiko-risiko yang besar, mau tidak mau harus ke luar negeri. Karena, bagaimana pun kalau kapasitas di dalam negeri memang sudah tidak mencukupi, maka ya harus ke luar negeri,” katanya kepada Media Asuransi di sela-sela in-house training bertema “Professional Liability Insurance” yang dibawakan oleh Head of Underwriting & Products PT QBE Pool Indonesia Bayu Samudro di Jakarta baru-baru ini.
Dede Kurniadi memberikan contoh asuransi satelit yang nilainya jutaan sampai miliaran dolar Amerika Serikat. “Sehingga perlu dukungan dari pasar internasional mengingat risikonya memang besar,” kata eksekutif pialang reasuransi, yang juga Ketua Departemen Anggota, Asosiasi Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apari).
Memang tidak mungkin untuk menahan premi asuransi seluruhnya di pasar Indonesia, meskipun ada regulasi dari OJK yang mengharuskan mengoptimalkan dulu kapasitas dalam negeri sebelum dilakukan retrosesi ke pasar luar negeri. Bagaimana pun, kegiatan suatu bisnis asuransi di seluruh dunia mesti mendapatkan dukungan dari reasuransi di pasar internasional, tentunya setelah kapasitas dalam negeri digunakan seoptimal mungkin. Dalam regulasi tersebut ada beberapa lini bisnis yang diharuskan direasuransikan 100 persen di dalam negeri, karena risiko-risiko ini relatif kecil dan bisa ditangani oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi dalam negeri. Yaitu asuransi kendaraan bermotor, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, surety bond, asuransi kredit, dan asuransi kargo.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (Apparindo) Nanan Ginanjar, dilihat dari sisi premi reasuransi, sudah pasti akan ada pengurangan larinya premi ke luar negeri. Hal ini dapat dihitung dari peningkatan priority limit cession di dalam negeri, sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam RPOJK. “Sebelum ketentuan ini diterapkan, priority limit cession di dalam negeri sangatlah kecil (untuk properti hanya Rp11 miliar – lihat Per-11/BL/2012) dan hanya berlaku untuk treaty saja. Dalam ketentuan yang baru, di samping priority limit cession dalam negeri meningkat tajam (lebih dari 10 kali lipat), pengaturan berlaku baik untuk treaty maupun facultative. Hal ini sudah pasti akan mengurangi larinya premi reasuransi ke luar negeri,” katanya kepada Media Asuransi baru-baru ini.
Nanan Ginanjar menambahkan bahwa pesan optimalisasi ini tentunya tersirat bahwa untuk jenis-jenis bisnis mikro dan ritel jelas wajib di dalam negeri dan hanya lini bisnis yang berpotensi memilki kelebihan kapasitas dalam negeri saja yang boleh ditempatkan ke luar negeri. Dia mengingatkan bahwa adalah “pekerjaan rumah” bagi pialang reasuransi lokal untuk menarik minat perusahaan asuransi (ceding company) lokal agar tetap menggunakan jasa perusahaan pialang reasuransi lokal walaupun penempatan secara langsung sangat bisa mereka lakukan. “Point-nya adalah, bagaimana caranya memberikan pemahaman kepada para ceding company tentang manfaat dan kelebihan jika menggunakan jasa pialang reasuransi,” katanya.
Sementara itu, Sri Hadiah Watie mengungkapkan bahwa kalangan pialang reasuransi (broker re) sangat mendukung kebijakan OJK mengenai optimalisasi kapasitas asuransi dalam negeri. Baginya, justru pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana kesiapan reasuradur dan ceding company (perusahaan asuransi) dalam menghadapi kebijakan optimalisasi kapasitas asuransi di dalam negeri? “Juga yang harus diperhatikan adalah bagaimana pengaruh Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 terhadap pasar asuransi Indonesia?” katanya kepada Media Asuransi.
Bagi Sri Hadiah Watie, persoalan tarif yang diatur untuk dua lini bisnis, yaitu asuransi kendaraan bermotor dan properti atau asuransi kebakaran, perlu dipertimbangkan lagi. “Karena di lapangan, tertanggung atau nasabah punya sikap yang berbeda-beda menanggapi tarif untuk dua lini bisnis tersebut,” katanya. Misalnya ada tertanggung yang menurunkan nilai pertanggungannya (sum insured) karena suku premi (premium rate) yang lebih tinggi. Ada tertanggung yang mempersempit coverage-nya atau luas perlindungan risikonya. Bahkan, ada yang menolak sama sekali untuk berasuransi lagi karena suku premi yang lebih tinggi tersebut.
Jadi, masih kata Sri Hadiah Watie, kalau memang reasuradur dan ceding company siap, maka “kesiapan itu terutama pada pelayanan klaim dan akseptasi”.
Pandangan pialang reasuransi mengenai optimalisasi kapasitas asuransi di dalam negeri bisa saja berbeda dengan pelaku di sisi asuradur. Seperti dikemukakan oleh Presiden Direktur PT Tugu Reasuransi Indonesia (TuguRe) Moro W. Budhi bahwa kalau memang ada risiko-risiko yang 100 persen harus ditempatkan di dalam negeri itu benar-benar dilakukan seperti itu. “Jangan sampai katanya 100 persen di dalam negeri, tapi ternyata ada yang diam-diam ke pasar di luar negeri. Jadi butuh pengawasan yang lebih ketat,” katanya kepada Media Asuransi baru-baru ini.
Regulasi optimalisasi pasar dalam negeri yang dikeluarkan OJK, tampaknya mengundang optimisme bagi pelaku bisnis pialang reasuransi. Meskipun, memang masih ada hal-hal yang perlu diperbaiki seiring dengan membesarnya bisnis di dalam negeri. Mucharor Djalil
Sumber: Mediaasuransinews.com