Tahun 2016 yang lalu, saya menerbitkan artikel berjudul “Kompetisi Industri Asuransi Umum Masih Sehatkah? Sebuah Refleksi Atas Satu Tahun SEOJK No. 21/SEOJK 05/2015”. Artikel itu memuat kecemasan penulis terhadap rapuhnya SE OJK, karena mengatur rate dan diskon tetapi tetap membuka lubang besar yang dinamakan Engineering Fee. Engineering Fee menurut Frequently Asked-Question / FAQ OJK 2014 (yang turut dibatalkan dengan munculnya SE OJK yang terbaru), merupakan biaya survey risiko yang dapat ditagihkan kepada perusahaan asuransi, di mana survey harus dilakukan oleh pihak ketiga dan harus ada invoice asli agar engineering fee tersebut dapat dibayarkan. Kala itu, perantara asuransi masih coba coba cilukba untuk meminta Engineering Fee, entah 2.5% hingga 5%. Disebut coba coba cilukba karena masih ada rasa takut ‘tercyduk’ (bahasa kekinian untuk istilah terjaring) audit OJK jika terbukti melakukan pelanggaran.
Setahun kemudian coba coba cilukba engineering fee ternyata makin terbuka. Apalagi hingga saat ini, belum terdengar jelas adanya perantara (entah perusahaan asuransi, broker, agen, atau peratara sejenisnya) yang ‘tercyduk’ oleh OJK karena secara sah dan meyakinkan memberikan atau menerima biaya akuisisi lebih dari seharusnya. Nilai engineering fee bahkan makin dahsyat (dengar-dengar bisa lebih dari 20% untuk okupasi-okupasi risiko tertentu). Maka ya sudah, konsekuensinya jelas. Perusahaan asuransi makin terbebani dengan biaya engineering fee (atau kadang beberapa menyebutnya sebagai survey fee, additional fee, bahkan ada yang secara terang-terangan menyebut sebagai additional discount untuk tertanggung). Entah apapun namanya, meningkatnya engineering fee menjadi beban berat untuk asuransi umum.
Premi lini asuransi properti turun 7% dan engineering fee yang tidak terkendali
Diberitakan dalam Kontan.co.id (6/9), hingga pertengahan tahun ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat perolehan premi dari lini asuransi properti mengalami penurunan sedalam 7%. Dalam rentang waktu yang sama, total premi susut 4% menjadi Rp. 29,16 triliun. Sayangnya, angka tersebut adalah angka kotor. Karena apabila pendapatan bersih dihitung, penurunan premi asuransi properti diyakini akan turun drastis. Saya sendiri yakin, engineering fee yang semakin liar membuat margin premi neto perusahaan asuransi umum semakin terpuruk.
Contoh sederhananya, apabila broker/agen mendapatkan biaya akuisisi 15% dan engineering fee sebesar 15%, maka broker akan mendapatkan total pemasukan 30% premi gross. Nantinya mereka akan menanggung biaya survey, biaya konsultasi, diskon tambahan, dan pajak -- jika ada. Apabila perusahaan asuransi mendapatkan penerimaan komisi dari reasuransi yang berkisar di angka 35%, maka perusahaan asuransi hanya akan mendapatkan margin sekitar 5% dibanding dengan total biaya untuk perantara yang nantinya digunakan untuk membayar klaim, gaji karyawan, biaya adjuster, dan seterusnya. Di sini ada ironi. Asuransi yang membayar klaim, tetapi perantara justru yang memiliki margin sangat lebar; sekalipun kadang kala sebagian besar marginnya diberikan kepada tertanggung sebagai diskon/tambahan diskon. Ini harusnya menjadi perhatian OJK di mana kecukupan premi menjadi faktor penting dalam keberlangsungan bisnis perusahaan asuransi umum dan jaminan pembayaran klaim.
Engineering fee yang tidak terkendali tidak hanya menurunkan premi neto yang didapatkan perusahaan asuransi, namun juga membuat persaingan industri asuransi menjadi sangat tidak sehat. Perusahaan asuransi yang memberikan engineering fee yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memberikan engineering fee lebih rendah. Broker/agen/perantara asuransi yang memberikan diskon yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memberikan diskon lebih rendah. Perang tarif memang sudah usai, tetapi perang engineering fee dan perang diskon berkecamuk di medan perang yang sama.
Penutup: siapa kambing hitamnya?
Lantas perlukah kita mencari kambing hitam? Mungkin tidak perlu ya. Toh, sepertinya perusahaan asuransi umum tidak terdengar mengajukan komplain ke OJK. Broker juga tidak terdengar mengajukan keberatan kepada regulator. Saya saya yang gemas dengan aturan OJK yang sepertinya tanggung dan bisa dibilang anget-anget tahi ayam. Saya sebut tanggung karena OJK sungguh mengatur tarif asuransi harta benda dan kendaraan bermotor agar ada kecukupan premi bagi perusahaan asuransi untuk membayar klaim dan untuk pertumbuhan perusahaan, tetapi di sisi lain seolah membuka kompetisi engineering fee yang tidak sehat dan berbahaya. Disebut hangat-hangat tahi ayam karena tampak sangat garang dan ditakuti ketika mengeluarkan SE OJK tentang asuransi – beserta FAQ-nya di awal-awal, tetapi kini tampak acuh dengan perang engineering fee yang semakin menggila.
Regulasi yang jelas mengenai engineering fee atau additional fee atau survey fee atau sponsorship atau apapun bentuknya harus segera dibuat. Wibawa OJK sebagai regulator atau wasit-pun harus kembali ditunjukkan biar tidak tampak seperti macan ompong. Jika tidak cepat, tunggu saja perusahaan asuransi yang lelah menanggung beban ini. Jadi bagaimana OJK, bisa?
-------------------------------
Opini Oleh: Afrianto Budi
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan instansi tempat saya bekerja atau pun posisi yang saya miliki.
-------------------------------
Setahun kemudian coba coba cilukba engineering fee ternyata makin terbuka. Apalagi hingga saat ini, belum terdengar jelas adanya perantara (entah perusahaan asuransi, broker, agen, atau peratara sejenisnya) yang ‘tercyduk’ oleh OJK karena secara sah dan meyakinkan memberikan atau menerima biaya akuisisi lebih dari seharusnya. Nilai engineering fee bahkan makin dahsyat (dengar-dengar bisa lebih dari 20% untuk okupasi-okupasi risiko tertentu). Maka ya sudah, konsekuensinya jelas. Perusahaan asuransi makin terbebani dengan biaya engineering fee (atau kadang beberapa menyebutnya sebagai survey fee, additional fee, bahkan ada yang secara terang-terangan menyebut sebagai additional discount untuk tertanggung). Entah apapun namanya, meningkatnya engineering fee menjadi beban berat untuk asuransi umum.
Premi lini asuransi properti turun 7% dan engineering fee yang tidak terkendali
Diberitakan dalam Kontan.co.id (6/9), hingga pertengahan tahun ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat perolehan premi dari lini asuransi properti mengalami penurunan sedalam 7%. Dalam rentang waktu yang sama, total premi susut 4% menjadi Rp. 29,16 triliun. Sayangnya, angka tersebut adalah angka kotor. Karena apabila pendapatan bersih dihitung, penurunan premi asuransi properti diyakini akan turun drastis. Saya sendiri yakin, engineering fee yang semakin liar membuat margin premi neto perusahaan asuransi umum semakin terpuruk.
Contoh sederhananya, apabila broker/agen mendapatkan biaya akuisisi 15% dan engineering fee sebesar 15%, maka broker akan mendapatkan total pemasukan 30% premi gross. Nantinya mereka akan menanggung biaya survey, biaya konsultasi, diskon tambahan, dan pajak -- jika ada. Apabila perusahaan asuransi mendapatkan penerimaan komisi dari reasuransi yang berkisar di angka 35%, maka perusahaan asuransi hanya akan mendapatkan margin sekitar 5% dibanding dengan total biaya untuk perantara yang nantinya digunakan untuk membayar klaim, gaji karyawan, biaya adjuster, dan seterusnya. Di sini ada ironi. Asuransi yang membayar klaim, tetapi perantara justru yang memiliki margin sangat lebar; sekalipun kadang kala sebagian besar marginnya diberikan kepada tertanggung sebagai diskon/tambahan diskon. Ini harusnya menjadi perhatian OJK di mana kecukupan premi menjadi faktor penting dalam keberlangsungan bisnis perusahaan asuransi umum dan jaminan pembayaran klaim.
Engineering fee yang tidak terkendali tidak hanya menurunkan premi neto yang didapatkan perusahaan asuransi, namun juga membuat persaingan industri asuransi menjadi sangat tidak sehat. Perusahaan asuransi yang memberikan engineering fee yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memberikan engineering fee lebih rendah. Broker/agen/perantara asuransi yang memberikan diskon yang paling tinggi akan memenangkan persaingan dengan mereka yang memberikan diskon lebih rendah. Perang tarif memang sudah usai, tetapi perang engineering fee dan perang diskon berkecamuk di medan perang yang sama.
Penutup: siapa kambing hitamnya?
Lantas perlukah kita mencari kambing hitam? Mungkin tidak perlu ya. Toh, sepertinya perusahaan asuransi umum tidak terdengar mengajukan komplain ke OJK. Broker juga tidak terdengar mengajukan keberatan kepada regulator. Saya saya yang gemas dengan aturan OJK yang sepertinya tanggung dan bisa dibilang anget-anget tahi ayam. Saya sebut tanggung karena OJK sungguh mengatur tarif asuransi harta benda dan kendaraan bermotor agar ada kecukupan premi bagi perusahaan asuransi untuk membayar klaim dan untuk pertumbuhan perusahaan, tetapi di sisi lain seolah membuka kompetisi engineering fee yang tidak sehat dan berbahaya. Disebut hangat-hangat tahi ayam karena tampak sangat garang dan ditakuti ketika mengeluarkan SE OJK tentang asuransi – beserta FAQ-nya di awal-awal, tetapi kini tampak acuh dengan perang engineering fee yang semakin menggila.
Regulasi yang jelas mengenai engineering fee atau additional fee atau survey fee atau sponsorship atau apapun bentuknya harus segera dibuat. Wibawa OJK sebagai regulator atau wasit-pun harus kembali ditunjukkan biar tidak tampak seperti macan ompong. Jika tidak cepat, tunggu saja perusahaan asuransi yang lelah menanggung beban ini. Jadi bagaimana OJK, bisa?
-------------------------------
Opini Oleh: Afrianto Budi
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan instansi tempat saya bekerja atau pun posisi yang saya miliki.
-------------------------------
Ternyata ada update mengenai ulasan engineering fee pada artikel bapak tahun 2016 yang baru saya baca. Apa boleh saya share link ini ke artikel sejenis di linkedin agar bisa di-diskusi-kan dengan sesame praktisi asuransi?
ReplyDeleteSilakan... baik sekali jika bisa dishare pak/bu...
DeleteSaya sangat setuju sekali dengan analisis dalam artikel Bapak. Saya harap OJK sebagai regulator menyempatkan waktu melihat artikel ini, yang menurut saya dikemas dengan uraian yang lugas dan tegas. Bahkan lebih parah lagi, praktek Engineering Fee kini sudah melenceng sangat jauh dari S-76 OJK_FAQ SE06-D05-2013, yang dahulu sebagai biaya survey underwriting, kini telah menjadi sarana jual beli "invoice bodong" tanpa ada survey report yang memadai sama sekali dari entitas/lembaga survey independen yang ditunjuk langsung oleh pihak asuransi. Beberapa perantara juga mencoba menyiasatinya dengan mendirikan perusahaan baru yang seolah-olah berbeda dengan entitas broker itu sendiri, namun pada dasarnya tetap berafiliasi langsung dengan pihak perantara tersebut, tanpa mempunyai tenaga ahli yang mumpuni, yang benar-benar independen. Perusahaan baru inilah yang nantinya akan dijadikan "kendaraan" oleh pihak perantara dalam menerbitkan laporan survey dan melakukan penagihan biaya Engineering Fee atas kepentingan mereka.
ReplyDelete