Amanah UU Perasuransian Di Balik Molornya Pembentukan LPPP

Hampir 4 tahun tenggat waktu pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP) terlewati. Sesuai dengan amanat Pasal 53 ayat 4 UU No. 40/2014 tentang Perasuransian seharusnya lembaga yang bertugas menjamin polis asuransi ini sudah terbentuk maksimum pada tahun 2017. Namun demikian, hingga saat ini progresnya pun masih menyisakan misteri.

Pada sisi lain, pelaku industri asuransi baik umum maupun jiwa mendesak agar lembaga tersebut segera dibentuk di tengah sejumlah kasus keuangan perusahaan asuransi yang mendera dan rendahnya tingkat penetrasi industri asuransi nasional. Keberadaan LPPP ini diharapkan dapat memberikan jaminan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk berasuransi karena ada lembaga khusus yang akan memberikan jaminan pengembalian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi.

Selama LPPP belum terbentuk, maka ketentuan penjaminan bagi pemegang polis sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan asuransi melalui dana jaminan. Bila perusahaan asuransi bangkrut dan tidak mampu membayar kewajibannya, nasabah akan dirugikan sehingga berdampak buruk terhadap citra industri asuransi secara keseluruhan.

Saat menjadi pembicara dalam acara Insurance Outlook 2021 yang diselenggarakan Media Asuransi pada 17 Desember 2020, Kepala Departemen IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah mengungkapkan, pada dasarnya pembentukan LPPP masih dalam proses pembahasan intensif antar pihak terutama terkait dengan kriteria peserta dan skema iurannya. Pembentukan lembaga ini, jelasnya, dilakukan secara hati-hati agar tidak memicu terjadinya moral hazard. “OJK sangat support karena ini ekspektasi masyarakat luas. Tapi kita tidak mau awal-awal pembentukan akan memicu terjadinya moral hazard. Kami ingin menjaga hal-hal seperti itu,” ungkapnya.

Menurutnya, ketentuan dan keanggotaan dalam lembaga ini harus adil atau fair sehingga tidak bisa disamaratakan. “Kan enggak mungkin loss stroom, semua boleh jadi anggota, bayar preminya sama tapi risikonya berbeda,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu, mengaku sejak tahun 2018, AAJI sudah dilibatkan dalam proses diskusi pembentukan LPPP. Saat itu, AAJI sudah mengusulkan supaya proses pembentukan LPPP ini dapat dilakukan secara cepat, maka pembentukan LPPP dimasukkan ke dalam revisi UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). “Harapannya LPS tidak hanya menjamin perbankan, tapi juga asuransi. Tentu saja ada aturan yang bisa kita usulkan. Artinya, dana yang sudah terkumpul dari perbankan jangan disatukan dengan yang asuransi agar fair,” jelasnya dalam program Medas Talks di TVAsuransi, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, keberadaan LPPP ini sudah sangat mendesak tidak hanya untuk masyarakat tapi juga untuk pemerintah sendiri. Pasalnya, bagi pemerintah akan relatif mudah menutup perusahaan asuransi jika ada LPPP. Melalui LPPP ini, pemerintah juga dapat berfungsi sebagai mediator yakni polis-polis yang sehat dari sebuah perusahaan asuransi yang mau tutup atau bangkrut bisa di-switch ke perusahaan asuransi lainnya. “Jadi tidak ada dana yang mesti dikeluarkan LPPP nantinya. Jadi ini adalah langkah exit yang baik bagi pemerintah, pemegang polis, dan tentunya perusahaan asuransi.”

Togar menduga, molornya pembentukan LPPP ini disebabkan oleh adanya ketentuan di UU Perasuransian yang menyebutkan semua perusahaan asuransi wajib menjadi anggota LPPP. Terlebih saat ini ada beberapa perusahaan asuransi yang bermasalah dan masalahnya tidak kecil. “Jadi kalau perusahaan bermasalah ini dimasukkan ke dalam LPPP, maka LPPP bisa langsung bangkrut,” ujarnya.

Oleh karena itu, AAJI mengusulkan agar perusahaan yang menjadi anggota LPPP harus memiliki kriteria seperti laba selama 3 tahun berturutturut dan tingkat RBC di atas 120 persen. Penetapan iuran juga harus berdasarkan risiko dari perusahaan. Selain itu, jelasnya, tidak semua produk bisa dimasukkan ke dalam LPPP seperti produk unitlink yang memiliki dua unsur yaitu proteksi dan investasi. Menurutnya, unsur investasi tidak bisa dimasukkan ke dalam LPPP karena risiko investasinya ada di pemegang polis bukan di perusahaan.

Menurut Togar, usulan-usulan yang disampaikan oleh AAJI tersebut didasarkan dari hasil kajian dan benchmarking di negara lain seperti Hong Kong, Kanada, Malaysia, dan Thailand.

Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dody AS Dalimunthe, juga berpandangan bahwa keberadaan LPP ini penting dalam rangka meyakinkan calon tertanggung sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat secara luas untuk berasuransi. Praktik yang sama juga telah berjalan di industri perbankan melalui LPS dan terbukti efektif meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menabung.

Namun demikian, persoalan mendasar yang perlu diperhatikan dalam pembentukan LPPP ini adalah bagaimana penentuan keanggotaan, skema iuran, dan produk yang ditanggung. Dari sisi keanggotaan, Dody meminta agar seharusnya hanya perusahaan sehat yang menjadi anggota, sehingga potensi terjadinya moral hazard dapat diminimalkan.

Akan tetapi, bila semua perusahaan asuransi harus menjadi anggota maka perlu dibuat kriteria tertentu untuk membedakan besaran iuran. “Kami mengusulkan perusahaan yang sehat agar potensi dia bermasalah ke depan itu kecil. Ini bukan sekadar upaya untuk menalangi perusahaan yang bermasalah tapi upaya untuk meningkatkan confident level pelaku usaha dan juga menjaga kepentingan masyarkat. Jadi lebih kepada preventive action,” tegasnya.

President Director PT Asuransi Tokio Marine Indonesia, Sancoyo Setiabudi, mengakui bahwa pembentukan LPPP bukan hal mudah. Menurutnya, dibutuhkan sistem dan mekanisme yang bisa memberikan keseimbangan bagi semua kepentingan baik kepentingan nasabah, pemerintah, maupun perusahaan asuransi. “Contoh paling sederhana adalah penetapan premi. Premi itu hendaknya adequate untuk LPPP untuk memberikan proteksi, tapi pada saat yang sama juga tidak memberatkan perusahaan asuransi dan nasabah. Dan juga bagaimana menerjemahkan tingkat kesehatan perusahaan asuransi ke dalam rate premi dimaksud. Tentunya tidak adil apabila rate preminya dipukul rata untuk setiap perusahaan asuransi,” katanya kepada Media Asuransi.


Titik Terang

Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan titik terang proses pembentukan LPP ini mulai terkuak. Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Adi Budiarso, mengungkapkan bahwa pembentukan LPPP akan dimasukkan ke dalam RUU Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. RUU yang bersifat sapu jagad alias omnibus law di sektor keuangan ini kabarnya sudah masuk Prolegnas 2021 dan diharapkan bisa disahkan sebelum akhir tahun ini.

Menurut Adi, molornya pembentukan LPPP selama ini lantaran adanya prerequisite yang harus dipenuhi, yakni pembentukan LPPP perlu memperhatikan kondisi industri perasuransian yang secara komperehensif perlu di-asses dari sisi kesehatan dan kesiapan. “Di samping waktu yang tepat tapi juga kesiapan kita untuk membentuk LPPP sendiri. Pembentukan LPPP idealnya dilakukan saat sistem perasuransian kita sudah siap untuk pembentukan itu dan ini tentu membutuhkan waktu. Kami melihat saat ini waktu yang tepat, kita sudah studi, kajian, audiensi dengan pelaku bisnis, akademisi, dan juga sudah melakukan benchmarking,” katanya di program Medas Talk TVAsuransi, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan hasil kajian dan pendalaman yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder terkait lainnya, terang Adi, pemerintah telah memiliki opsi-opsi yang akan ditawarkan untuk disepakati bersama dalam pembahasan dengan parlemen. “Salah satu opsinya apakah LPPP akan dilekatkan di LPS atau mungkin bisa juga opsi lain dengan membangun secara terpisah. Apakah post funded atau pre funded? Terkait produk, ada opsi komperehensif atau sederhana,” jelasnya.

Untuk saat ini, Adi mengaku belum bisa menyampaikan secara detail model dari bentuk LPPP tersebut. Namun demikian, secara umum dia menegaskan bahwa tujuan pembentukan LPPP adalah untuk meningkatkan trust kepada sistem perasuransian secara keseluruhan sehingga seharusnya industri yang

menjadi peserta adalah industri yang sehat dan memenuhi kriteria perundangan.

Di pihak lain, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengaku hingga saat ini DPR belum menerima draf RUU terkait pembentukan LPPP. Oleh karena itu, pihaknya belum mengetahui konsep dan model dari LPPP yang akan diusulkan pemerintah. Lebih lanjut, Misbakhun menyayangkan proses pembentukan LPPP yang molor hingga 3 tahun lebih. “Kita lihat sampai sekarang belum terbentuk. Artinya pemerintah masih belum melihat ini sebagai suatu kebutuhan,” tegasnya.

Menurutnya, pembentukan LPPP merupakan bagian dari reformasi yang perlu segera diwujudkan untuk memberikan penguatan kepada sektor IKNB dan meningkatkan gairah di sektor industri asuransi baik untuk pemegang polis maupun perusahaan asuransi. “LPPP ini produk dari inisiatif pemerintah, terkait draf dan isinya itu kewenangan penuh pemerintah untuk melakukan penyusunan. Apapun itu isi produknya seperti apa, sepenuhnya pemerintah yang tahu,” tegasnya.

Berbagai usulan industri asuransi terkait model dan bentuk LPPP tampaknya sudah ditangkap dan menjadi perhatian pemerintah yang terakomodasi dalam opsi-opsi yang akan ditawarkan dan disepakati bersama dengan parlemen. Namun demikian, terkait dengan cepat atau lambat proses pembahasannya. Apakah pembentukan LPPP ini masih akan molor lagi? Semunya tergantung bagaimana proses pembahasan di parlemen, terlebih dalam RUU omnibus law sektor keuangan ini tidak hanya sektor asuransi yang dibahas tetapi juga sektor perbankan, pasar modal, dan pembiayaan. Achmad Aris





Terimakasih telah berkunjung. Silakan meninggalkan komentar, bertanya, atau menambahkan materi yang telah saya sediakan.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال