POJK No 8 Tahun 2024 Tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi



Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2024 Tentang
Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi


Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan,

Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5A dan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penggunaan polis asuransi secara elektronik atau digital dan tata kelola perhitungan premi/kontribusi secara lebih hati-hati dalam rangka memastikan perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dapat memenuhi seluruh kewajiban kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
  2. bahwa Peraturan  Otoritas  Jasa  Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi perlu disesuaikan dengan perkembangan inovasi produk asuransi dan pemasaran produk asuransi yang semakin variatif serta dinamis, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan proses persetujuan produk asuransi dengan tetap mengedepankan aspek prudensial dan perilaku pasar;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi;

Mengingat  :

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRODUK ASURANSI DAN SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI.

 

BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:

  1. Produk Asuransi adalah program jasa pertanggungan/pengelolaan atas risiko yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan/atau perusahaan asuransi jiwa termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah.
  2. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disebut PAYDI adalah Produk Asuransi yang paling sedikit memberikan pelindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk Produk Asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit.
  3. Produk Asuransi Bersama adalah Produk Asuransi yang dirancang untuk dipasarkan dan ditanggung atau dikelola risikonya oleh 2 (dua) atau lebih perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah.
  4. Produk Asuransi Mikro adalah Produk Asuransi yang didesain untuk memberikan pelindungan atas risiko keuangan yang dihadapi oleh masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
  5. Polis Asuransi adalah akta perjanjian asuransi atau dokumen  lain  yang  dipersamakan dengan akta perjanjian asuransi, dan dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, serta memuat perjanjian antara perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis, yang dibuat secara tertulis baik dalam bentuk cetak atau elektronik.
  6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
  7. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
  8. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa
  9. Dana Tabarru adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
  10. Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi tanahud, hasil investasi dana tanahudqardh dari dana perusahaan kepada dana tanahud, dan/atau dana tanahud dari reasuradur, yang penggunaannya sesuai dengan akad hibah dana tanahud.
  11. Pemegang Polis adalah pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
  12. Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi.
  13. Peserta adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
  14. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
  15. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
  16. Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarru’ dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
  17. Aktuaris Perusahaan adalah orang perseorangan yang telah memperoleh sertifikasi dari asosiasi yang membawahkan bidang aktuaria, yang ditunjuk dan bekerja secara  penuh  sebagai  aktuaris  pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah tempatnya bekerja.
  18. Bancassurance adalah aktivitas kerja sama antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dengan bank dalam rangka memasarkan Produk Asuransi melalui bank.

 

BAB II PRODUK ASURANSI

Bagian Kesatu

Jenis dan Kriteria Produk Asuransi

Pasal 2

(1) Produk Asuransi yang dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah meliputi:

  1. program yang menjanjikan pelindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang dapat diasuransikan yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti dengan memberikan penggantian kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
  2. program yang menjanjikan pelindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko yang terkait meninggal dunia dan/atau hidupnya Tertanggung/Peserta, atau anuitas asuransi jiwa;
  3. program yang menjanjikan pelindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko dengan memberikan penggantian atau pembayaran kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, atau pihak lain yang berhak terkait dengan keadaan kesehatan fisik seseorang atau menurunnya kondisi kesehatan seseorang yang dipertanggungkan; dan
  4. program yang menjanjikan pelindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih risiko dengan memberikan penggantian atau pembayaran kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, atau pihak lain yang berhak dalam hal terjadi kecelakaan.

(2) Selain Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dapat memasarkan:

  1. program yang memberikan pertanggungan/pengelolaan atas risiko kegagalan pemenuhan kewajiban finansial debitur kepada kreditur sesuai dengan perjanjian kredit, atau program yang memberikan pengelolaan atas risiko kegagalan pemenuhan kewajiban finansial debitur kepada kreditur sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah;
  2. program yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melakukan perjanjian sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee; dan
  3. PAYDI

Pasal 3

Produk Asuransi harus:

  1. memberikan pelindungan dari paling sedikit 1 (satu) jenis risiko yang dapat diasuransikan;
  2. memiliki Premi/Kontribusi yang sesuai dengan manfaat yang dijanjikan, yang ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif; dan
  3. memiliki Polis Asuransi yang tidak mengandung kata, frasa, atau kalimat yang dapat:
    1. menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup, kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dan kewajiban Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan/atau
    2. mempersulit Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengurus haknya.

Pasal 4

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan PAYDI wajib setiap saat memenuhi ketentuan sebagai berikut:
    1. memiliki Aktuaris Perusahaan;
    2. memiliki tenaga pengelola investasi;
    3. memiliki sistem informasi yang memadai; dan
    4. memiliki sumber daya yang mampu mendukung pengelolaan PAYDI.
  2. PAYDI wajib memenuhi kriteria:
    1. memiliki proporsi pelindungan terhadap risiko kematian dan manfaat yang dikaitkan dengan investasi;
    2. memiliki masa pertanggungan tertentu; dan
    3. memiliki strategi investasi yang
  3. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan PAYDI wajib:
    1. melakukan pencatatan dan pelaporan aset dan liabilitas setiap subdana secara terpisah dengan aset dan liabilitas lain yang dimiliki atau dikelola Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
    2. memiliki dan menerapkan kebijakan dan strategi investasi untuk PAYDI;
    3. mengalokasikan investasi dari masing-masing Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sesuai dengan subdana yang dipilih oleh Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan
    4. menerapkan manajemen risiko yang efektif terhadap risiko nilai tukar atas liabilitas dalam mata uang asing.

4. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan PAYDI wajib melaksanakan pengelolaan aset dan liabilitas PAYDI mencakup:

    1. menetapkan kecukupan Premi/Kontribusi;
    2. mengalokasikan bagian Premi/Kontribusi untuk pembentukan nilai tunai;
    3. memiliki strategi investasi yang spesifik untuk setiap subdana;
    4. melaksanakan strategi investasi;
    5. menyesuaikan penempatan investasi sesuai dengan strategi investasi;
    6. melakukan penghitungan nilai aktiva bersih;
    7. menetapkan pengenaan biaya;
    8. melakukan penatausahaan seluruh aset yang bersumber dari PAYDI yang mencakup penyimpanan, pencatatan, dan pembukuan; dan
    9. memiliki perjanjian penggunaan layanan

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat menyelenggarakan PAYDI, kriteria PAYDI, serta pengelolaan aset dan liabilitas PAYDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 5

  1. Produk Asuransi Bersama dilarang dirancang untuk dipasarkan dan ditanggung/dikelola risikonya melalui mekanisme kerja sama selain antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan:
    1. usaha asuransi umum dengan usaha asuransi umum lainnya;
    2. usaha asuransi umum syariah dengan usaha asuransi umum syariah lainnya;
    3. usaha asuransi jiwa dengan usaha asuransi jiwa lainnya;
    4. usaha asuransi jiwa syariah dengan usaha asuransi jiwa syariah lainnya;
    5. usaha asuransi umum dengan usaha asuransi jiwa; atau
    6. usaha asuransi umum syariah dengan usaha asuransi jiwa syariah.
  2. Pembagian risiko antara para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Produk Asuransi Bersama wajib sesuai dengan ruang lingkup usaha masing-masing bidang usaha Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah.
  3. Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pertanggungan bersama yang dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dengan bidang usaha yang sejenis dalam rangka penyebaran risiko untuk 1 (satu) objek pertanggungan yang bersifat kasus per kasus.

Pasal 6

  1. Penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus didasarkan pada perjanjian tertulis.
  2. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat:
    1. susunan keanggotaan, termasuk Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua yang akan mengkoordinir kegiatan pemasaran Produk Asuransi Bersama;
    2. hak dan kewajiban masing-masing perusahaan yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama, termasuk:
      1. tugas Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua; dan
      2. kewajiban para pihak untuk menjaga kerahasiaan data Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
    3. spesifikasi dan desain Produk Asuransi Bersama yang menjadi objek perjanjian atau pemasaran;
    4. risiko yang ditanggung/dikelola masing-masing Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama sesuai dengan ruang lingkup usaha masing-masing, dan Produk Asuransi Bersama yang diselenggarakan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dengan bidang usaha sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d, dengan ketentuan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua harus menanggung porsi risiko yang lebih besar;
    5. klausul mengenai prosedur atau tata cara:
      1. permohonan asuransi;
      2. seleksi risiko (underwriting) dan penetapan Premi/Kontribusi;
      3. penerimaan Premi/Kontribusi dari Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
      4. penerusan Premi/Kontribusi kepada seluruh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama;
      5. penyelesaian dan pembayaran klaim; dan
      6. penyelesaian pengaduan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
    6. jangka waktu perjanjian kerja sama penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama;
    7. prosedur penyelesaian perselisihan antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama; dan
    8. kondisi yang menyebabkan berakhirnya
  3. Penyelesaian klaim atas Produk Asuransi Bersama wajib dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan Produk Asuransi Bersama sesuai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  4. Dalam hal 1 (satu) atau lebih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah mengakhiri perjanjian kerja sama penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama atau dilarang untuk memasarkan Produk Asuransi Bersama maka:
    1. seluruh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama tetap wajib bertanggung jawab atas pertanggungan/kepesertaan yang sedang berjalan sesuai dengan ruang lingkup risiko yang dijamin oleh masing-masing Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sesuai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
    2. risiko yang ditanggung/dikelola dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama wajib disesuaikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang masih tergabung; dan
    3. penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama wajib diakhiri apabila tidak terdapat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat menanggung risiko asuransi yang sesuai dengan bidang usaha yang sejenis dengan risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang mengakhiri kerja sama atau dikenai larangan untuk memasarkan Produk Asuransi Bersama.

Pasal 7

  1. Produk Asuransi Mikro harus memiliki karakteristik:
    1. sederhana;
    2. mudah;
    3. ekonomis; dan
    4. segera.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Produk Asuransi Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 8

  1. Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah merupakan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan Pasal 2 ayat (2).
  2. Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah merupakan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c.
  3. Produk Asuransi Mikro yang dapat dipasarkan oleh perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah merupakan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali PAYDI dan lini usaha asuransi umum atau asuransi umum syariah yang bersifat kompleks.
  4. Produk Asuransi Mikro yang dapat dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah merupakan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali anuitas asuransi jiwa dan PAYDI.
  5. Produk Asuransi yang dapat dipasarkan oleh perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diperluas dengan mengikuti perluasan ruang lingkup usaha asuransi.

Pasal 9

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi kumpulan wajib memastikan bahwa Tertanggung/Peserta memiliki hubungan kepentingan dengan Pemegang Polis dan/atau penerima manfaat atas objek, manfaat, atau risiko yang dipertanggungkan dalam Produk Asuransi kumpulan.

Pasal 10

Penyelenggaraan anuitas asuransi jiwa atau anuitas asuransi jiwa syariah untuk program dana pensiun oleh Perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah wajib dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan dana pensiun.

Pasal 11

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah harus memberi nama untuk setiap Produk Asuransi yang dipasarkan.
  2. Nama Produk Asuransi yang dipasarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
    1. menggunakan kata asuransi, insurance, kata lain yang semakna, atau kata yang mencirikan kegiatan Perusahaan Asuransi;
    2. menggunakan kata asuransi syariah, sharia insurance/takaful, kata lain yang semakna, atau kata yang mencirikan kegiatan Perusahaan Asuransi Syariah;
    3. tidak menimbulkan tafsiran bahwa produk tersebut bukan merupakan Produk Asuransi; dan
    4. sesuai dengan nama Produk Asuransi pada saat dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Nama dari Produk Asuransi Mikro harus menggunakan frasa “asuransi mikro” atau frasa lain yang semakna.
  4. Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengubah nama Produk Asuransi jika nama Produk Asuransi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3).
  5. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

 

Bagian Kedua
Polis Asuransi

Pasal 12

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan Produk Asuransi wajib menerbitkan Polis Asuransi yang paling sedikit memuat ketentuan mengenai:

  1. saat mulai berlaku dan berakhirnya pertanggungan/ kepesertaan;
  2. uraian manfaat yang diperjanjikan dan risiko yang dikecualikan, termasuk besaran, waktu, persyaratan, dan kondisi pemberian manfaat;
  3. cara dan waktu pembayaran Premi/Kontribusi;
  4. tenggang waktu pembayaran Premi/Kontribusi;
  5. penggunaan kurs ekuivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing jika pembayaran Premi/Kontribusi dan/atau manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah;
  6. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran Premi/Kontribusi;
  7. kebijakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang ditetapkan apabila pembayaran Premi/Kontribusi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;
  8. periode pada saat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi pada Produk Asuransi jiwa atau kesehatan dengan masa pertanggungan/kepesertaan lebih dari 1 (satu) tahun;
  9. tabel nilai tunai, untuk Produk Asuransi yang memiliki nilai tunai yang dijamin sesuai dengan Polis Asuransi;
  10. cara perhitungan besaran nilai tunai untuk Produk Asuransi yang memiliki manfaat nilai tunai yang besarannya tidak dijamin sesuai dengan Polis Asuransi;
  11. perhitungan dividen Polis Asuransi atau yang sejenis, bagi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah yang menjanjikan dividen Polis Asuransi atau yang sejenis;
  12. penghentian pertanggungan/kepesertaan, baik dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah maupun dari Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, termasuk syarat, penyebab, kewajiban masing-masing pihak, dan hak atau manfaat yang diperoleh Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
  13. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang relevan dan diperlukan dalam pengajuan klaim;
  14. tata cara dan jangka waktu penyelesaian dan pembayaran klaim;
  15. penyelesaian perselisihan paling sedikit memuat mekanisme penyelesaian di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan dan pemilihan tempat kedudukan penyelesaian perselisihan;
  16. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih;
  17. tata cara penyelesaian pengaduan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta;
  18. periode mempelajari polis untuk Polis Asuransi yang memiliki periode lebih dari 1 (satu) tahun; dan
  19. periode menunggu jika

Pasal 13

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah wajib menerbitkan Polis Asuransi yang memuat ketentuan mengenai:

  1. jenis akad yang digunakan;
  2. hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak berdasarkan akad yang disepakati;
  3. besar Kontribusi yang dialokasikan ke dalam Dana Tabarru’, Dana Tanahudujrah, dan/atau dana investasi Peserta;
  4. besar, waktu, dan cara pembayaran bagi hasil investasi dalam hal Produk Asuransi menggunakan akad mudharabah atau mudharabah musytarakah;
  5. besar, waktu, dan cara pemotongan ujrah dalam hal menggunakan akad wakalah bil ujrah;
  6. alokasi penggunaan surplus underwriting untuk Dana Tabarru’, dana Peserta, dan/atau dana Perusahaan Asuransi Syariah;
  7. pemberian qardh oleh Perusahaan Asuransi Syariah; dan
  8. penggunaan Dana Tabarru’, Dana Tanahud, dan/atau dana investasi Peserta sesuai dengan jenis akad yang

Pasal 14

Perusahaan Asuransi yang menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi Mikro wajib menerbitkan Polis Asuransi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g huruf h, huruf l, huruf m, huruf n, huruf p, huruf q, dan huruf s.

Pasal 15

Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi Mikro dengan Prinsip Syariah wajib menerbitkan Polis Asuransi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, huruf m, huruf n, huruf p, huruf q, huruf s, dan Pasal 13 huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h.

Pasal 16

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan dan memasarkan PAYDI wajib mengikuti ketentuan Polis Asuransi untuk PAYDI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai PAYDI.

Pasal 17

  1. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan Produk Asuransi Bersama wajib memuat bagian risiko yang akan ditanggung oleh masing-masing Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama dalam Polis Asuransi untuk Produk Asuransi
  2. Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama.
  3. Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama harus ditandatangani oleh:
    1. seluruh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama; atau
    2. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama.
  4. Dalam hal Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama ditandatangani hanya oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua dalam pemasaran Produk Asuransi Bersama, perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Polis Asuransi untuk Produk Asuransi Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat ketentuan:
    1. persetujuan dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama kepada ketua untuk menandatangani Polis Asuransi; dan
    2. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tergabung dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Bersama terikat sesuai porsi risiko masing-masing.

Pasal 18

Dalam ketentuan Polis Asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan atas perjanjian asuransi yang dilakukan melalui pengadilan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilarang mencantumkan ketentuan yang membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan di tempat kedudukan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.

Pasal 19

  1. Polis Asuransi harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti oleh Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
  2. Dalam hal Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai:
    1. pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan Polis Asuransi yang bersangkutan; dan/atau
    2. pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah,

bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak dengan huruf tebal atau miring sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan penyebab risiko atau adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

Pasal 20

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi wajib:
    1. menerbitkan Polis Asuransi; dan
    2. menyampaikan Polis Asuransi tersebut kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
  2. Polis Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dan disampaikan dalam bentuk cetak atau elektronik kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau
  3. Dalam hal Polis Asuransi diterbitkan dan disampaikan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memberikan akses kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta untuk memperoleh dan/atau mencetak salinan atas Polis Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  4. Dalam hal Polis Asuransi diterbitkan dan disampaikan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dilarang meminta persyaratan dokumen pengajuan klaim berupa Polis Asuransi dalam bentuk cetak.
  5. Dalam hal Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta meminta Polis Asuransi dalam bentuk cetak, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan Polis Asuransi dalam bentuk cetak dan diperkenankan untuk membebankan biaya pengiriman Polis Asuransi kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.

Pasal 21

  1. Dalam pemasaran Produk Asuransi kumpulan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib menerbitkan:
    1. Polis Asuransi induk yang dilampirkan dengan daftar nama  Tertanggung/Peserta  dan masa pertanggungan dari masing-masing Tertanggung/Peserta; dan
    2. bukti kepesertaan dalam bentuk cetak atau elektronik bagi masing-masing Tertanggung/peserta.
  2. Polis Asuransi dari Produk Asuransi kumpulan wajib mencantumkan hubungan kepentingan, antara Tertanggung/Peserta dan/atau objek yang dipertanggungkan dengan Pemegang Polis dan/atau penerima manfaat atas objek, manfaat, atau risiko yang
  3. Dalam hal bukti kepesertaan diterbitkan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memberikan akses kepada Tertanggung/ Peserta untuk memperoleh dan/atau mencetak salinan atas bukti kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
  4. Dalam hal bukti kepesertaan diterbitkan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dilarang meminta persyaratan dokumen pengajuan klaim berupa bukti kepesertaan dalam bentuk cetak.

Pasal 22

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat menggunakan polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi.
  2. Setiap polis standar asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh surat persetujuan.
  3. Polis standar asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan mengenai Polis Asuransi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Pasal 23

  1. Dalam setiap penutupan asuransi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memastikan penerbitan Polis Asuransi telah sesuai dengan spesimen Polis Asuransi yang merupakan bagian dari Produk Asuransi yang telah:
    1. mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; atau
    2. dilaporkan kepada Otoritas Jasa
  2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Produk Asuransi yang tidak wajib mendapatkan persetujuan atau tidak wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 24

  1. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa dalam ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi terdapat hal yang dapat merugikan:
    1. Pemegang Polis;
    2. Tertanggung/Peserta; dan/atau
    3. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah,

Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan/atau asosiasi industri asuransi untuk mengubah ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi dimaksud.

2. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan/atau asosiasi industri asuransi wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Bagian Ketiga
Premi atau Kontribusi

Pasal 25

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam mengelola Premi/Kontribusi dari Pemegang Polis harus dapat menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh Pemegang Polis serta memastikan tidak terjadi kegagalan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
  2. Dalam menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh Pemegang Polis serta memastikan tidak terjadi kegagalan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib melakukan:
    1. perhitungan Premi/Kontribusi yang didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktik asuransi yang berlaku umum; dan
    2. penetapan Premi/Kontribusi didasarkan pada risiko atas objek asuransi dan manfaat yang didapat oleh Pemegang Polis, Tertanggung, atau

Pasal 26

  1. Perhitungan Premi/Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah wajib dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:
    1. Premi/Kontribusi murni yang dihitung berdasarkan data profil risiko dan kerugian jenis asuransi yang bersangkutan minimal 5 (lima) tahun terakhir; dan
    2. biaya akuisisi, biaya administrasi, biaya umum lainnya, dan margin keuntungan.
  2. Dalam hal data profil risiko dan kerugian jenis asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak tersedia, digunakan:
    1. data profil risiko dan kerugian jenis asuransi yang bersangkutan kurang dari 5 (lima) tahun terakhir; dan/atau
    2. informasi yang akurat dari sumber terpercaya untuk memprediksi frekuensi dan besaran risiko pada objek asuransi.
  3. Perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah wajib meninjau kembali perhitungan tarif Premi/Kontribusi setelah memiliki data profil risiko dan kerugian yang cukup.
  4. Perhitungan Premi/Kontribusi PAYDI, Produk Asuransi kesehatan, dan/atau Produk Asuransi kecelakaan diri, yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah wajib dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:
    1. Premi/Kontribusi murni yang dihitung berdasarkan data profil risiko, tingkat bunga/tingkat diskonto, tabel mortalita, dan/atau tabel morbidita;
    2. perkiraan hasil investasi dari Premi/Kontribusi; dan
    3. biaya akuisisi, biaya administrasi, biaya umum lainnya, dan margin keuntungan.
  5. Perhitungan Premi/Kontribusi Produk Asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah wajib dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit:
    1. Premi/Kontribusi murni yang dihitung berdasarkan data profil risiko, tingkat bunga/tingkat diskonto, tabel mortalita, dan/atau tabel morbidita;
    2. perkiraan hasil investasi dari Premi/Kontribusi; dan
    3. biaya akuisisi, biaya administrasi, biaya umum lainnya, dan margin keuntungan.

Pasal 27

  1. Dalam penetapan Premi/Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib melakukan penilaian dan seleksi risiko dalam setiap penutupan asuransi atau asuransi syariah sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
  2. Hasil penilaian dan seleksi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus digunakan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam penetapan Premi/Kontribusi yang dibebankan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau

 

Bagian Keempat
Penghentian Pertanggungan/Kepesertaan

Pasal 28

  1. Penghentian pertanggungan/kepesertaan, baik atas kehendak Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah maupun Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis dan/atau elektronik.
  2. Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan/kepesertaan pada Produk Asuransi, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib menginformasikan dan memastikan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta memahami konsekuensi atas biaya yang timbul dan risiko yang dibebankan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau
  3. Kewajiban menginformasikan dan memastikan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta memahami konsekuensi atas penghentian pertanggungan/kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didokumentasikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
  4. Pada saat penghentian pertanggungan/kepesertaan pada Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengembalian Premi/Kontribusi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta yang dicantumkan dalam Polis Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l.

 

Bagian Kelima
Sanksi Administratif

Pasal 29

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), Pasal 6 ayat (3), ayat (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (5), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan/atau Pasal 28 ayat (2), ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
  4. Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Keenam
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama

Pasal 30

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB III
Mekanisme Penyelenggaraan Produk Asuransi

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam penyelenggaraan Produk Asuransi wajib:
    1. menerapkan manajemen risiko secara efektif; dan
    2. memperhatikan kesesuaian penyelenggaraan Produk Asuransi dengan strategi dan rencana bisnis Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
  2. Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Produk Asuransi dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
    1. pelindungan konsumen dan masyarakat sektor jasa keuangan; dan
    2. inovasi teknologi sektor keuangan, jika penyelenggaraan Produk Asuransi merupakan inovasi keuangan digital.
  3. Dalam menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah harus:
    1. mencantumkan rencana pengembangan Produk Asuransi dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
    2. melakukan identifikasi dan penilaian sendiri atas rencana pengembangan Produk Asuransi terkait kategori Produk Asuransi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
    3. mendapatkan penetapan oleh komite pengembangan Produk Asuransi atas hasil identifikasi dan penilaian sendiri sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
  4. Pencantuman rencana pengembangan Produk Asuransi dalam rencana bisnis Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, harus memuat:
    1. gambaran umum setiap Produk Asuransi yang akan dikembangkan;
    2. Produk Asuransi yang mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebelum dipasarkan; dan
    3. Produk Asuransi yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dikecualikan dalam pengembangan Produk Asuransi untuk pelaksanaan program Pemerintah dan/atau bersifat insidental pada jangka waktu tertentu.
  6. Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah tidak memiliki Aktuaris Perusahaan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran Produk Asuransi.
  7. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Bagian Kedua
Persetujuan Produk Asuransi

Pasal 32

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dalam penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b, berupa Produk Asuransi baru dan Produk Asuransi dengan kriteria tertentu.
  2. Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Produk Asuransi yang:
    1. tidak pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan; atau
    2. merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan dan mengakibatkan adanya perubahan material dari desain Produk Asuransi yang telah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, yang cakupan perubahannya meliputi:
      1. risiko yang ditanggung termasuk pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditanggung; dan/atau
      2. metode perhitungan nilai tunai.
  3. Produk Asuransi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
    1. Produk Asuransi yang memiliki unsur tabungan atau nilai tunai;
    2. Produk Asuransi kredit atau Produk Asuransi pembiayaan syariah; dan
    3. Produk Asuransi pada lini usaha suretyship atau suretyship syariah.

Pasal 33

  1. Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang berada dalam pengawasan intensif atau pengawasan khusus untuk memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terlebih dahulu dalam setiap penyelenggaraan Produk Asuransi.
  2. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi instruksi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 34

  1. Untuk mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), permohonan persetujuan harus disampaikan oleh direksi atau yang setara dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
  2. Dalam hal penyelenggaraan Produk Asuransi merupakan Produk Asuransi Bersama, untuk mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), permohonan persetujuan harus disampaikan oleh direksi atau yang setara dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi ketua dalam penyelenggaraan Produk Asuransi

Pasal 35

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengajukan permohonan persetujuan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) harus:
    1. memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas minimum dan kecukupan investasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan Prinsip Syariah; dan
    2. tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal permohonan persetujuan Produk Asuransi baru dimaksud merupakan bagian dari rencana tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan.
  3. Untuk memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk meminta dokumen dan/atau informasi terkait dengan penyelenggaraan Produk Asuransi baru dimaksud.
  4. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah harus menyampaikan dokumen dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
  5. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi kredit, Produk Asuransi pembiayaan syariah, suretyship, dan/atau suretyship syariah wajib memenuhi persyaratan/kriteria lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai produk asuransi yang dikaitkan dengan kredit atau pembiayaan syariah dan produk suretyship atau suretyship syariah.
  6. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan PAYDI wajib memenuhi persyaratan/kriteria lain mengenai PAYDI yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 36

Dalam setiap permohonan persetujuan Produk Asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah harus melampirkan dokumen:

  1. hasil identifikasi dan penilaian sendiri yang telah mendapatkan penetapan dari komite pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf c;
  2. formulir permohonan persetujuan Produk Asuransi;
  3. proyeksi pendapatan Premi/Kontribusi dan pengeluaran yang dikaitkan dengan pemasaran Produk Asuransi untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun;
  4. deskripsi Produk Asuransi;
  5. spesimen Polis Asuransi;
  6. opini dari dewan pengawas syariah, untuk produk asuransi syariah; dan
  7. matriks perbandingan Produk Asuransi sebelum dan sesudah perubahan, jika Produk Asuransi baru yang dilaporkan merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang sudah dipasarkan dan mengakibatkan adanya perubahan material.

Pasal 37

  1. Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah harus melampirkan dokumen perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) jika Produk Asuransi Bersama merupakan Produk Asuransi baru yang tidak pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a.
  2. Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah harus melampirkan surat persetujuan Produk Asuransi Bersama yang terdahulu jika Produk Asuransi Bersama merupakan Produk Asuransi baru yang merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b.

Pasal 38

Selain kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan dan memasarkan PAYDI harus melampirkan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai PAYDI.

Pasal 39

Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat persetujuan atas Produk Asuransi baru dan Produk Asuransi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap.

Pasal 40

  1. Dalam hal permohonan penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan atau belum memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 38, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan pemberitahuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dan/atau dokumen yang harus dilengkapi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah melalui:
    1. surat;
    2. surat elektronik;
    3. pertemuan dengan pihak perusahaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan;
    4. sistem elektronik; dan/atau
    5. cara lain yang dapat ditelusuri dan disimpan
  2. Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah tidak memenuhi persyaratan dan/atau melengkapi dokumen, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dianggap membatalkan penyelenggaraan Produk Asuransi.
  3. Apabila Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah tetap bermaksud memasarkan Produk Asuransi baru setelah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah harus menyampaikan kembali permohonan persetujuan penyelenggaraan Produk Asuransi dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, bentuk, dan format permohonan persetujuan penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 40 ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Bagian Ketiga
Pelaporan Produk Asuransi

Pasal 42

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dapat menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi terlebih dahulu tanpa persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, untuk:
    1. Produk Asuransi yang tidak pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dan Produk Asuransi tersebut tidak memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3);
    2. Produk Asuransi yang merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan mengakibatkan adanya perubahan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b, namun tidak memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); dan
    3. Produk Asuransi yang merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang telah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), namun tidak mengakibatkan adanya perubahan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b.
  2. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Produk Asuransi dimaksud dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

Pasal 43

Laporan penyelenggaraan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) wajib melampirkan dokumen:

  1. hasil penilaian sendiri yang telah mendapatkan penetapan dari komite pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf c;
  2. surat pernyataan Aktuaris Perusahaan dan direktur Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
  3. spesimen Polis Asuransi;
  4. matriks perbandingan Produk Asuransi sebelum dan sesudah perubahan, khusus untuk Produk Asuransi yang dilaporkan merupakan pengembangan atas Produk Asuransi yang sudah dipasarkan;
  5. opini dari dewan pengawas syariah, untuk produk asuransi syariah; dan
  6. perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) untuk Produk Asuransi

Pasal 44

  1. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai bahwa Produk Asuransi dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) merupakan Produk Asuransi baru dan Produk Asuransi dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan pemasaran Produk Asuransi dimaksud.
  2. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, bentuk, dan format pelaporan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

Bagian Keempat
Sanksi Administratif

Pasal 46

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), ayat (7), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (5), ayat (6), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43, dan/atau Pasal 44 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar 000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  4. Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
  5. Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Kelima
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama

Pasal 47

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB IV
SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 48

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah hanya dapat memasarkan Produk Asuransi melalui saluran pemasaran:
    1. secara langsung;
    2. agen asuransi;
    3. Bancassurance;
    4. badan usaha selain bank; dan/atau
    5. tenaga pemasar khusus untuk Produk Asuransi
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai saluran pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 49

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang akan memasarkan Produk Asuransi melalui saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d wajib memiliki perjanjian tertulis dengan pihak yang melakukan pemasaran.

Pasal 50

  1. Saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dapat menggunakan media komunikasi jarak jauh.
  2. Pemasaran Produk Asuransi melalui media komunikasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, Produk Asuransi yang ditawarkan, serta syarat dan ketentuan Polis Asuransi.
  3. Saluran pemasaran dengan menggunakan media komunikasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk PAYDI wajib diikuti dengan pertemuan langsung secara tatap muka atau tatap muka secara digital dengan media video conference.
  4. Tatap muka secara digital dengan media video conference sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan dengan ketentuan:
    1. menyebutkan identitas diri secara lengkap;
    2. menunjukkan dokumen identitas sebagai tenaga pemasar produk asuransi;
    3. memastikan kesesuaian wajah dan informasi dari calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dengan informasi terkini dari calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta yang bersangkutan; dan
    4. dokumentasi dalam bentuk rekaman video dan/atau audio yang harus diverifikasi, disimpan, dan dipelihara sesuai dengan kebijakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah agar dokumentasi tersebut dapat digunakan sebagai bukti dalam hal terjadi

Pasal 51

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi melalui agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b, wajib memastikan bahwa Agen Asuransi tersebut memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai agen asuransi.

Pasal 52

  1. Pemasaran Produk Asuransi melalui Bancassurance sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf c dapat diselenggarakan dengan model bisnis:
    1. referensi;
    2. distribusi; dan/atau
    3. integrasi
  2. Perusahaan yang memasarkan Produk Asuransi melalui Bancassurance sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, wajib terlebih dahulu memperoleh surat persetujuan Bancassurance dari Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 53

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi melalui badan usaha selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf d dengan kriteria tertentu wajib terlebih dahulu memperoleh surat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasaran Produk Asuransi melalui badan usaha selain bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 54

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan Produk Asuransi Mikro melalui tenaga pemasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf e wajib menyelenggarakan atau mengadakan pelatihan bagi tenaga pemasar
  2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
    1. pelatihan mengenai Produk Asuransi Mikro yang akan dipasarkan; dan
    2. pelatihan mengenai pengetahuan dasar
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasaran Produk Asuransi Mikro melalui tenaga pemasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa

Pasal 55

Dalam hal pemasaran Produk Asuransi dilakukan melalui saluran pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib:

  1. memastikan bahwa pihak yang melakukan pemasaran dimaksud menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan mengenai Produk Asuransi kepada calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebelum calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
  2. bertanggung jawab atas semua tindakan pihak yang melakukan pemasaran yang berkaitan dengan Produk Asuransi yang dipasarkan.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 56

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 51, Pasal 52 ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan/atau Pasal 55 dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Pasal 53 ayat (1) dan dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan
  4. Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Ketiga
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama

Pasal 57

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB V
PENYELENGGARAAN PRODUK ASURANSI SECARA DIGITAL

Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Produk Asuransi Secara Digital

Pasal 58

  • Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi secara digital baik sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain yang menjadi partner Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah berdasarkan pada suatu perjanjian kerja sama.
  • Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi secara digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan:
    1. memiliki tanda daftar penyelenggara sistem elektronik yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik;
    2. memiliki dan menerapkan kebijakan, standar, dan prosedur manajemen risiko teknologi informasi; dan
    3. memenuhi seluruh persyaratan yang diwajibkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga yang berwenang dalam rangka penyelenggaraan sistem

Pasal 59

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyelenggarakan dan memasarkan Produk Asuransi secara digital melalui kerja sama dengan pihak lain yang menjadi partner Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Sistem elektronik yang digunakan untuk penyelenggaraan Produk Asuransi secara digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) wajib memuat informasi mengenai identitas Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, Produk Asuransi yang ditawarkan, syarat dan ketentuan Polis Asuransi, serta menyediakan ringkasan informasi produk dan layanan.
  3. Dalam hal pemasaran sebagaimana dimasud dalam Pasal 58 ayat (1) menggunakan sistem elektronik pihak lain, sistem elektronik pihak lain tersebut harus terhubung dengan sistem elektronik Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan kerja sama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak lain yang menjadi partner Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 60

  1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang melakukan penyelenggaraan Produk Asuransi secara digital wajib memastikan Produk Asuransi yang dipasarkan memenuhi kriteria:
    1. menggunakan polis individual; dan
    2. memiliki proses seleksi risiko yang sederhana.
  2. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang melakukan penyelenggaraan Produk Asuransi secara digital wajib melakukan penilaian sendiri secara internal atas kesesuaian jenis dan karakteristik Produk Asuransi yang dipasarkan dengan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 61

  • Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan/atau Pasal 60 dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  • Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
  • Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Ketiga
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama

Pasal 62

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB VI
PEMENUHAN PRINSIP SYARIAH

Bagian Kesatu
Pemenuhan Prinsip Syariah

Pasal 63

  1. Perusahaan Asuransi Syariah dan unit syariah dari Perusahaan Asuransi wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam setiap penyelenggaraan Produk
  2. Pemenuhan penerapan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus didukung dengan:
    1. fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagai dasar dalam penyelenggaraan Produk Asuransi; dan
    2. opini dari dewan pengawas syariah atas penggunaan akad tertentu untuk kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
  3. Opini dari dewan pengawas syariah Perusahaan Asuransi Syariah atau unit syariah dari Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit:
    1. Produk Asuransi harus berdasarkan pada fatwa dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah;
    2. kesesuaian Produk Asuransi dengan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah, paling sedikit mencakup:
      1. Polis Asuransi;
      2. akad yang digunakan telah sesuai dengan karakteristik penyelenggaraan Produk Asuransi;
      3. obyek dan tujuan pengelolaan risiko;
      4. kebijakan dan prosedur pengelolaan kekayaan;
      5. kesesuaian penetapan   Kontribusi dengan akad yang digunakan; dan/atau
      6. penghentian kepesertaan dan penetapan biaya dalam penghentian kepesertaan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai format opini dari dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 64

Dalam hal Produk Asuransi yang telah dimiliki oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau unit syariah dari Perusahaan Asuransi bertentangan dengan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah yang baru diterbitkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a, Perusahaan Asuransi Syariah atau unit syariah dari Perusahaan Asuransi wajib menyesuaikan Produk Asuransi dengan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah tersebut dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak penetapan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah tersebut.

 

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 65

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau Pasal 64 dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  2. Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
  3. Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Ketiga
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama

Pasal 66

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB VII
MANAJEMEN PRODUK ASURANSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 67

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki dan menerapkan pedoman pengembangan dan pemantauan Produk Asuransi yang paling sedikit memuat:

  1. tata kelola penyelenggaraan Produk Asuransi;
  2. manajemen risiko;
  3. pengendalian internal dalam pengembangan dan evaluasi Produk Asuransi; dan
  4. tanggung jawab masing-masing unit kerja atau fungsi dalam manajemen Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam pengembangan dan pemantauan Produk Asuransi.

 

Bagian Kedua
Pengembangan Produk Asuransi

Pasal 68

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki rencana pengembangan dan pemasaran Produk Asuransi yang ditetapkan oleh direksi atau yang setara.
  2. Rencana pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana bisnis Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
  3. Ketentuan mengenai bentuk, susunan, dan tata cara penyusunan rencana pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 69

  1. Dalam setiap pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib terlebih dahulu melakukan kajian atau pengujian atas Produk Asuransi.
  2. Kajian atau pengujian atas Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengetahui potensi risiko kerugian terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, serta Pemegang Polis, Tertanggung, atau
  3. Kajian atau pengujian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup aspek:
    1. kesesuaian pengembangan Produk Asuransi dengan rencana bisnis Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
    2. potensi dampak terhadap kinerja dan kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
    3. kesiapan operasional Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, paling sedikit mencakup;
      1. kecukupan prosedur seleksi risiko;
      2. kesesuaian penetapan Premi/Kontribusi dengan praktik yang berlaku umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
      3. kecukupan dukungan reasuransi;
      4. kecukupan estimasi atau asumsi yang digunakan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah terkait besar portofolio risiko atas Produk Asuransi yang akan dipasarkan dapat memenuhi hukum bilangan besar asuransi;
      5. kesiapan infrastruktur sistem informasi pendukung;
      6. kesiapan kompetensi dan kapasitas sumber daya manusia; dan
      7. manajemen risiko terkait dengan pemasaran dan pengelolaan Produk Asuransi; dan
    4. pelindungan calon Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, paling sedikit mencakup:
      1. kesesuaian desain Produk Asuransi dengan kebutuhan dan karakteristik target pasar;
      2. kesiapan pelaksanaan pelatihan tenaga pemasar atau pihak lain yang akan memasarkan Produk Asuransi dan edukasi konsumen; dan
  4. kesesuaian informasi yang akan disampaikan dalam pemasaran dan ketentuan Polis Asuransi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan pelindungan konsumen.
  5. Hasil kajian atau pengujian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada komite pengembangan Produk Asuransi sebagai dasar untuk pemberian rekomendasi pengembangan Produk Asuransi.

 

Bagian Ketiga
Komite Pengembangan Produk Asuransi

Pasal 70

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memiliki komite pengembangan Produk Asuransi.
  2. Komite pengembangan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
    1. direktur yang membawahi fungsi pengembangan Produk Asuransi selaku penanggung jawab utama;
    2. pejabat yang bertanggung jawab terhadap fungsi operasional;
    3. pejabat yang bertanggung jawab terhadap fungsi manajemen risiko;
    4. pejabat yang bertanggung jawab terhadap fungsi pemasaran; dan
    5. Aktuaris Perusahaan.

Pasal 71

  1. Komite pengembangan Produk Asuransi bertanggung jawab untuk melakukan tinjauan dan memberikan rekomendasi atas:
    1. pengembangan Produk Asuransi berdasarkan hasil kajian atau pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69;
    2. pengklasifikasian Produk Asuransi sebagai Produk Asuransi yang:
      1. mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); atau
      2. dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2); dan

2. pemasaran Produk Asuransi, berupa:

    1. melanjutkan pemasaran Produk Asuransi;
    2. mengubah Produk Asuransi; dan/atau
    3. menghentikan pemasaran Produk

3. Pemberian rekomendasi atas perubahan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan hasil evaluasi atas kinerja setiap Produk Asuransi yang dilakukan oleh Aktuaris Perusahaan dan/atau anggota komite pengembangan Produk Asuransi lain.

 

Bagian Keempat
Pemantauan Kinerja Produk Asuransi

Pasal 72

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib melakukan pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi dengan melakukan pengelompokan atas setiap lini usaha, Produk Asuransi, dan saluran pemasaran Produk Asuransi.
  2. Pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengevaluasi paling sedikit:
    1. kesesuaian asumsi tingkat risiko dan biaya yang digunakan dalam penetapan tarif Premi/Kontribusi Produk Asuransi dengan realisasi tingkat risiko dan biaya; dan
    2. dampak terhadap profitabilitas Produk Asuransi
  3. Pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Aktuaris Perusahaan sesuai dengan standar praktik dan kode etik yang dikeluarkan oleh asosiasi profesi aktuaris Indonesia.
  4. Pemantauan atas kinerja setiap Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan seluruh fungsi dalam Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.

 

Bagian Kelima
Penghentian Produk Asuransi

Pasal 73

  1. Penghentian Produk Asuransi dilakukan atas dasar:
    1. inisiatif Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan; atau
    2. perintah Otoritas Jasa
  2. Perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dengan mempertimbangkan:
    1. hasil evaluasi Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggaraan Produk Asuransi dinilai atau berpotensi:
      1. menimbulkan kerugian yang material dan/atau signifikan terhadap kondisi keuangan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah;
      2. meningkatkan risiko hukum atau reputasi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah secara signifikan karena adanya pengaduan atau tuntutan dari nasabah; dan/atau
      3. berdampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan;

b. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tidak menerapkan manajemen risiko yang memadai atas Produk Asuransi yang diselenggarakan; dan/atau

c. kondisi lain.

3. Penghentian Produk Asuransi atas dasar perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berlaku sementara atau permanen berdasarkan penilaian Otoritas Jasa

Pasal 74

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menghentikan Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b wajib:

  1. menghentikan penawaran, pemasaran, dan/atau penutupan pertanggungan/kepesertaan baru atas Produk Asuransi;
  2. menyampaikan informasi kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas penghentian Produk Asuransi;
  3. menyampaikan rencana tindak kepada Otoritas Jasa Keuangan atas penghentian Produk Asuransi paling lama 1 (satu) bulan sejak Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah diperintahkan untuk menghentikan Produk Asuransi; dan
  4. mengimplementasikan rencana

Pasal 75

Penghentian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 74 dilarang mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.

Pasal 76

  1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib melaporkan penghentian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak penghentian Produk Asuransi.
  2. Pelaporan penghentian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh direktur Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau yang setara dilengkapi dengan:
    1. penjelasan mengenai alasan penghentian pemasaran Produk Asuransi; dan
    2. data Polis Asuransi yang masih aktif.

Pasal 77

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, bentuk, dan format pelaporan penghentian Produk Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

Bagian Keenam
Sanksi Administratif

Pasal 78

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), ayat (4), Pasal 70 ayat (1), Pasal 72 ayat (1), Pasal 74, Pasal 75, dan/atau Pasal 76 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penurunan tingkat kesehatan; dan/atau
    3. larangan untuk memasarkan Produk Asuransi atau Produk Asuransi dengan Prinsip Syariah untuk lini usaha tertentu.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar 000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan
  4. Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.

 

Bagian Ketujuh
Penilaian Kembali bagi Pihak Utama

Pasal 79

Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali bagi pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

 

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 80

Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan atau kebijakan yang berbeda dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

 

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

  1. Surat persetujuan atau pencatatan atas Produk Asuransi yang telah diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, dinyatakan tetap berlaku.
  2. Proses pelaporan Produk Asuransi yang belum selesai pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
  3. Sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
  4. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

 

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 82

Ketentuan pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 287, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5770) dinyatakan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Pasal 83

Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:

  1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 287, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5770); dan
  2. Pasal 50 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik untuk Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 84

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 April 2024

KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

MAHENDRA SIREGAR

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2024
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 10/OJK

Terimakasih telah berkunjung. Silakan meninggalkan komentar, bertanya, atau menambahkan materi yang telah saya sediakan.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال